BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar belakang
Setiap
negara berdaulat yang telah diakui pasti memiliki yurisdiksi untuk menunjukkan
kewibawaannya pada rakyatnya atau pada masyarakat internasional. Diakui secara
universal baik setiap negara memiliki kewenangan untuk mengatur
tindakan-tindakan dalam teritorinya sendiri dan tindakan lainnya yang dapat
merugikan kepentingan yang harus dilindunginya.
Dalam
kaitannya dengan prinsip dasar kedaulatan negara, suatu negara yang berdaulat
menjalankan yurisdiksi/kewenangannnya dalam wilayah negara itu. Berdasarkan
kedaulatannya itu, maka dapat diturunkan hak, kekuasaan, atau kewenangan negara
untuk mengatur masalah intern dan ekstern. Dengan kata lain dari kedaulatannya
itulah diturunkan atau lahir yurisdiksi negara. Dengan hak, kekuasaan, atau
dengan yurisdiksi tersebut suatu negara mengatur secara lebih rinci dan jelas
masalah-masalah yang dihadapinya sehingga terwujud apa yang menjadi tujuan
negara itu.
Adakalanya
yurisdiksi itu harus tunduk kepada pembatasan tertentu yang ditetapkan oleh
hukum internasional. Dalam hal ini yang dimaksud adalah “hak- hak istimewa
ekstrateritorial”, yakni suatu istilah yang dipakai untuk melukiskan suatu
keadaan dimana status seseorang atau benda yang secara fisik terdapat di dalam
suatu wilayah negara, tetapi seluruhnya atau sebagian dikeluarkan dari
yurisdiksi negara tersebut oleh ketentuan hukum internasional.
Yurisdiksi Negara dalam hukum internasional jelas berperan sangat penting
dalam tiap-tiap Negara, dengan demikian tiap Negara berwenang untuk menetapkan
ketentuan-ketentuan hukum nasionalnya
terhadap suatu peristiwa, kekayaan dan perbuatan apapun yang terjadi di wilayah
atau teritorialnya.
1.2
Rumusan masalah
Berdasarkan
uraian latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah yang akan dibahas
dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Apa istilah dan pengertian yuridiksi dalam HI?
2. Apa saja prinsip-prinsip yuridksi dalam HI?
3. Bagaimana penerapan yuridiksi ekstrateritorial
dalam HI?
4. Bagaimana kerja sama antar
negara dalam penerapan yuridiksi?
1.3
Tujuan Penulisan
Adapun
tujuan dari pembuatan makalah ini adalah agar dapat mengetahui :
1. Istilah dan pengertian yuridiksi dalam HI
2. Prinsip-prinsip yuridksi dalam HI
3. Penerapan yuridiksi ekstrateritorial dalam HI
4. Kerja sama antar negara
dalam penerapan yuridiksi
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Istilah
dan Pengertian Yuridiksi dalam HI
Kata Yurisdiksi (jurisdiction) berasal dari kata yurisdictio. Kata Yurisdictio berasal dari dua kata yaitu Yuris dan Dictio. Yuris berarti kepunyaan hukum atau
kepunyaan menurut hukum. adapun dictio
berarti ucapan, sabda atau sebutan. Dengan demikian dilihat dari asal katanya
nampak bahwa yurisdiksi berkaitan dengan masalah hukum, kepunyaan menurut hukum
atau kewenangan menurut hukum.
Menurut Wayan Parthiana, kata
yurisdiksi berarti kekuasaan atau kewenangan yang dimiliki suatu badan
peradilan atau badan-badan lainnya yang berdasarkan atas hukum yang berlaku.
Bila yurisdiksi dikaitkan dengan negara maka akan berarti kekuasaan atau kewenangan
negara untuk menetapkan dan memaksakan (to
declare and to enforce) hukum yang dibuat oleh negara atau bangsa itu
sendiri.
Imre Anthony Csabafi dalam bukunya
The Consept of State Yurisdiction in International Space Law mengemukakan bahwa
yurisdiksi negara dalam hukum internasional berarti hak dari suatu negara untuk
mengatur atau mempengaruhi dengan langkah-langkah atau tindakan yang bersifat
legislatif, eksekutif atau yudikatif atas hak-hak individu, milik atau harta
kekayaannya, perilaku-perilaku atau peristiwa-peristiwa yang tidak semata-mata
merupakan masalah dalam negeri.
Dalam bahasa yang lebih sederhana
Shaw mengemukakan bahwa yurisdiksi adalah kompetensi atau kekuasaan hukum
negara terhadap orang, benda dan peristiwa hukum. yurisdiksi ini merupakan
refleksi dari prinsip dasar kedaulatan negara, persamaan derajat negara dan
prinsip non intervensi.
Ada tiga macam yurisdiksi yang
dimiliki oleh negara yang berdaulat menurut john O’Brien , yaitu:
1. Kewenangan
negara untuk membuat ketentuan-ketentuan hukum terhadap orang, benda, peristiwa
maupun perbuatan di wilayah teritorialnya (legislative jurisdiction or
prescriptive jurisdiction).
2. Kewenangan
negara untuk melaksanakan berlakunya ketentuan-ketentuan hukum nasionalnya
(executive jurisdiction or enforcement jurisdiction).
3. Kewenangan
pengadilan negara untuk mengadili dan memberikan putusan hukum (yudicial
jurisdiction).
Menurut
Akehurst, khususnya membedakan antara yang kedua dengan yang ketiga. Enforcement jurisdiction
menurut Akehurst merupakan power of physical interference exercised by the
executive. Contoh enforcement
jurisdiction adalah menangkap seseorang, menyita harta kekayaan dan
lain-lain. Adapun contoh judicial
enforcement adalah persidangan yang dilakukan pengadilan suatu negara berkaitan
dengan orang, benda maupun peristiwa tertentu.
Bila Akehurst menekankan
perbedaan enforcement jurisdiction.
Beberapa penulis lain seperti Martin Dixon dan Tien Saefullah menggabungkan
keduanya dalam enforcement jurisdiction.
Dengan demikian, menurut mereka kewenangan negara untuk menetapkan
ketentuan-ketentuan hukum dikenal sebagai jurisdiction
to prescibe, adapun kewenangan untuk menegakkan atau menerapkan ketentuan
hukum nasionalnya terhadap peristiwa, kekayaan dan perbuatan dikenal sebagai jurisdiction to enforce.
Adapun berkaitan dengan jurisdiction to enforce negara tidak
dapat secara otomatis memaksakan ketentuan hukum yang telah dirumuskan di luar
wilayah negaranya. Hal ini dikarenakan oleh adanya prinsip par in parem non habet imperium yang melarang suatu negara yang
berdaulat melakukan tindakan kedaulatan di dalam wilayah negara lain. Dari
paparan di atas dapat disimpulkan bahwa bila negara mempunyai kekuasaan penuh
di bawah hukum internasional to prescribe
jurisdiction, namun pelaksanaan presriptive
jurisdiction tersebut terbatas hanya pada wilayah teritorialnya saja.
Penerapan yurisdiksi
menjadi masalah hukum internasional bila dalam suatu kasus ditemukan unsur
asing. Misalnya kewarganegaraan pelaku dan/korban yang warga negara asing, atau tempat
perbuatan atau peristiwa terjadi di luar negeri.
Berdasarkan objeknya
(hal, masalah, peristiwa, orang dan benda), yurisdiksi negara dibedakan menjadi
yurisdiksi personal, yurisdiksi kebendaan, yurisdiksi kriminal, yurisdiksi
perdata, dan yurisdiksi eksklusif. Adapun berkaitan dengan ruang atau tempat
objek atau masalah yang bukan semata-mata masalah domestik maka yurisdiksi
negara dapat dibedakan menjadi yurisdiksi teritorial, quasi teritorial,
ekstrateritorial, universal dan eksklusif.
B.
PRINSIP-PRINSIP
YURISDIKSI DALAM HI
Secara garis besar yurisdiksi pengadilan
(judicial jurisdiction) mencakup
perdata dan pidana. Yurisdiksi perdata adalah kewenangan hukum pengadilan suatu
negara terhadap perkara-perkara yang menyangkut keperdataan baik yang sifatnya
perdata biasa (nasional), maupun yang bersifat perdata internasional dimana ada
unsur-unsur asing dalam kasus tersebut baik menyangkut para pihak objek yang
disengketakan maupun tempat perbuatan dilakukan. Adapun yurisdiksi pidana
adalah kewenangan hukum pengadilan suatu negara terhadap perkara-perkara yang
menyangkut kepidanaan baik muni nasional maupun yang terdapat unsur asing
didalamnya.
1.
Prinsip
Yurisdiksi Teritorial
Menurut prinsip ini setiap negara
memiliki yurisdiksi terhadap kejahatan yang dilakukan di dalam wilayah atau
teritorialnya. Hakum Loed Macmillan, suatu negara harus memiliki yurisdiksi
terhadap semua orang, benda dan perkara-perkara perdata dan pidana dalam
batas-batas teritorialnya sebagai pertanda negara tersebut berdaulat.
Pengadilan negara dimana suatu kejahatan dilakukan memiliki yurisdiksi terkuat
dengan pertimbangan :
a) Negara
dimana kejahatan dilakukan adalah negara yang ketertiban sosialnya paling
terganggu.
b) Biasanya
pelaku ditemukan di negara di mana kejahatan dilakukan.
c) Akan
lebih mudah menemukan saksi dan bukti-bukti sehingga proses persidangan dapat
lebih efisien dan efektif
d) Seorang
WNA yang datang ke wilayah suatu negara dianggap menyerahkan diri pada sistem
HN negara tersebut, sehingga ketika ia melakukan pelanggaran HN di negara yang
ia datangi maka ia harus tunduk pada hukum setempat meskipun mungkin apa yang
ia lakukan sah (lawful) menurut
sistem HN negaranya sendiri.
Meskipun penting, kuat dan pupuler,
penerapan yurisdiksi teritorialnya tidaklah absolut. Ada beberapa perkecualian
yang diatur dalam HI di mana negara tidak dapat menerapkan yurisdiksi teritorialnya
meskipun suatu peristiwa terjadi di wilayahnya. Beberapa perkecualian yang
dimaksud adalah sebagai berikut.
a. Terhadap
pejabat diplomatik negara asing
Berdasarkan hukum diplomatik,
pejabat-pejabat diplomatik memiliki imunitas dari HN negara di mana mereka
ditempatkan dengan landasan teori fungsional yaitu supaya mereka dapat
mmenjalankan fungsi diplomasi mereka dengan lebih baik.
b. Terhadap
negara dan kepala negara asing
Atas dasar prinsip par im parem non
habet imperium maka negara asing memiliki imunitas di depan pengadilan
internasional. Negara dibedakan menjadi jure
imperii dan jure gestionis.
Negara dipandang imun hanya ketika tindakan yang dilakukan termasuk dalam jure imperii. Adapun bila tindakannya
masuk kategori jure gestionis,
berkaitan dengan masalah komersial, maka negara tidak lagi imun.
c. Terhadap
kapal publik negara asing
Berdasarkan floating island theory
maka kapal perang dan kapal pemerintah asing yang sifatnya non komersial
dipandang sebagai wilayah ekstrateritorial dari negara bendera, sehingga dua
jenis kapal ini memiliki imunitas dari yurisdiksi negara pantai di mana pun
posisi kapal.
d. Terhadap
organisasi Internasional
Sama seperti perwakilan diplomatik
asing, organisasi internasional memiliki imunitas dari yurisdiksi negara host
state. Organisasi internasional memiliki imunitas di wilayah-wilayah negara
anggotanya.
e. Terhadap
pangkalan militer negara asing
Pangkalan militer asing merupakan
wilayah ekstra teritorial sehingga diperkecualikan dari yurisdiksi negara
dimana pangkalan tersebut terletak. Besar kecilnya imunitas yang ia miliki
tergantung pada perjanjian yang dibuat antara kedua belah pihak.
Berdasarkan teknisnya prinsip
teritorial dibedakan menjadi dua yakni prinsip teritorial subjektif dan
objektif. Berdasarkan prinsip nasionalitas dikenal prinsip nasionalitas pasif
dan aktif. Selanjutnya berdasarkan kepentingan yang dilanggar akan dikenal
prinsip perlindungan dan prinsip universal.
1.
Prinsip
Teritorial Subjektif
Berdasarkan prinsip ini negara
memiliki yurisdiksi terhadap seseorang yang melakukan kejahatan yang dimulai
dari wilayahnya, tetapi diakhiri atau menimbulkan kerugian di negara lain.
2.
Prinsip
Teritorial Objektif
Berdasarkan prinsip ini suatu
negara memiliki yurisdiksi terhadap seseorang yang melakukan kejahatan yang
menimbulkan kerugian di wilayahnya meskipun perbuatan itu dimulai dari negara
lain.
3.
Prinsip
Nasionalitas Aktif
Berdasarkan prinsip ini negara
memiliki yurisdiksi terhadap warganya yang melakukan kejahatan di luar negeri.
Indonesia memiliki yurisdiksi untuk mengadili TKI yang membunuh majikannya di
Arab Saudi atas dasar prinsip ini.
4.
Prinsip
Nasionalitas Pasif
Berdasarkan prinsip ini negara
memiliki yurisdiksi terhadap warganya yang menjadi korban kejahatan yang
dilakukan orang asing di luar negeri. Dengan prinsip ini maka Indonesia akan
memiliki yurisdiksi berdasarkan prinsip nasionalitas pasif terhadap Philip
(Warga Filipina) yang membunuh Soni (WN Indonesia) di Thailand.
6. Prinsip Universal
Berdasarkan prinsip ini setiap
negara memiliki yurisdiksi untuk mengadili pelaku internasional yang dilakukan
di mana pun tanpa memperhatikan kebangsaan pelaku maupun korban. Alasan
munculnya prinsip universal adalah bahwa pelaku dianggap orang yang sangat
kejam, musuh seluruh umat manusia, jangan sampai ada tempat untuk meloloskan diri dari
hukuman, sehingga tuntutan yang dilakukan oleh suatu negara terhadap pelaku
adalah atas nama seluruh masyarakat internasional.
Yurisdiksi universal menurut
amnesti internasional adalah yurisdiksi dimana pengadilan nasional dimanapun
dapat menginvestigasi, menuntut seseorang yang dituduh melakukan kejahatan internasional crime tanpa memperhatikan
nasionalisme pelaku, korban maupun hubungan lain dengan negara dimana
pengadilan itu berada.
Tujuan dari yurisdiksi universal
adalah untuk merespons fenomena pengampunan (impunity) bagi orang-orang terentu. Pelaku serious international crime dibawah hukum internasional yang
menikmati impunity bebas bepergian ke
suatu tempat yang yang diinginkannya setelah ia melakukan serious international crime tanpa bisa dimintai pertanggung jawaban
bahkan hanya untuk sekedar diinvestigasi. Keberadaan yurisdiksi universal tidak
terlepas dari pro dan kontra, bagi para penentangnnya yurisdiksi ini dapat
merupakan pelanggaran terhadap prinsip kedaulatan negara dalam hukum
initernasional. Disamping itu dalam praktiknya dapat disalah gunakan untuk
tujuan kepentingan politik. Sedangkan bagi para pendukungnnya yurisdikdi ini
justru sangat diperlukan untuk mendorong masyarakata internasional dan
pengadilan domestik untuk mengakhiri praktik impunity. Argumen pelanggaran kedaulatan negara karenanya tidak
dapat diterima sebagai alasan untuk membiarkan pelaku lepas dari tanggung jawab
hukum mereka.
Yurisdiksi universal adalah
yurisdiksi yang bersifat unik dengan beberapa ciri yang menonjol yaitu :
a. Setiap
negara berhak untuk melaksanakan yurisdiksi universal. Frase “setiap negara”
mengarah hanya pada negara yang merasa bertanggung jawab untuk turut serta
secara aktif menyelamatkan masyarakat internasional dari bahaya yang
ditimbulkan oleh serious crime, sehingga merasa wajib untuk menghukum pelakunya.
Rasa bertanggung jawab tersebut harus dibuktikan dengan tidak adanya niat untuk
melindungi pelaku dengan memberiikan safe
heaven dalam wilayah negaranya.
b. Setiap
negara yang ingin melaksanakan
yurisdiksi universal tidak perlu mempertimbangkan siapa dan berkewarganegaraan
apa pelaku juga korban dan dimana serious
crime dilakukan. Satu-satunya pertimbangan yang diperlukan adalaha apakah
pelaku berada di wilayahnya atau tidak.
Tidak mungkin suatu negara bisa melakukan yurisdiksi universal bila pelaku
tidak berada diwilayahnya. akan merupakan pelanggaran hukum internasional bila
negara memaksa menangkap seseoramg yang berada di wilyah negara lain.
c. Setiap
negara hanya dapat melaksanakan yurisdiksi universal terhadap pelaku serious crime yang lazim disebut international crime.
Berdasrkan
karakteristik diatas dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya yurisdiksi yang berpotensi untuk mengisi
kekosongan hukum dalam pelaksanaan yurisdiksi terhadap tindak-tindak pidana
internasional. Hakikat yurisdiksi universal berbeda dengan yurisdiksi yang lain
karena tidak memerlukan titik peraturan antara negara yang melaksanakan
yurisdiksi dengan pelaku, korban, dan tindak pidana itu sendiri. Kekosongan
hukum dapat diatasi dengan diberikannya wewenang oleh hukum internasional
kepada setiap negara untuk melaksanakan yurisdiksi universal.
Dengan
demikian, untuk menjadi international
crime harus memenuhi bebrapa syarat yaitu :
a. Perbuatan
itu diakui secara universal sebagai tindak pidana, sudah dirumuskan sebagai
tindak pidana dalam semua sistem hukum pidana di semua negara. Semua negara
mengutuk perbuatan itu dan menentkan hukumannya yang layak.
b. Tindak
pidana itu harus memenuhi kriteria tertentu sebagai international crime, yaitu bahwa pelakunya merupakan musuh umat manusia dan tindakannya bertentangan
dengan kepentigan umat manusia sehingga penegakan hukum inernasional harus
dilakukan, dengan melalui hukum kebiasaan internasional maupun perjanjian
internasional dengan menghukum pelakunya.
c. Karena
sifat yang membahayakan masyarakat internasioanal maka sangat beralasan untuk tidak
hanya memberikan yurisdiksi pada satu negara saja yang jika dalam keadaan
normal memang berhak untuk melaksanakannya.
Hukum
internasional klasik menyebutkan kejahatan perang dan piracy sebagai kejahatan internasional yang kepadanya dapat
diterapkan yurisdiksi universal. Pasal 404 Restatement
( third ) of the Foreign Relations Law of
United States menyebutkan yurisdiksi universal diberlakukan terhadap
piracy, perdagangan budak, attack or hijacking of aircraft, genocide,
war crimes, dan terroism. ICTY memasukan pelanggaran berat konvensi jenewa
1949, pelanggaran hukum atau kebiasaan perang, genocide, dan kejahatan
kemanusiaan sebagai kejahatan inetrnasional yang memerlukan yurisdiksi
universal. Yurisdiksi ICTR mencakup genocide,
kejahatan kemanusiaan, pelanggaran pasal 3 bersama konvesi geneva dan protokol
tambahan II 1977. Adapaun Statuta ICC meneyebutkan genocida, war crime, kejahatan kemanusiaan dan kejahatan agresi
sebagai agresinya.
Masalah
yang kedua mengenai dasar hukum mengadili negara penuntut merupakan masalah
hubungan HI-HN. Berdasarkan teori dualisme HI harus ditransformasikan dulu
dalam HN. Adapun menurut teori monisme HI dan HnNmerupakan satu bagian sehingga
tidak memerluka transformasi, menurut Amnesti Internasional saat ini sekitar
120 Negara menetapkan war crime, crime
against humanity, genocide dan torture
sebagai kejahatan internasional yang dapat diberlakukan yurisdiksi
universal. Masalah yang terjadi sebenarnya menurut Amnesti Internasional adalah
kurangnya kemauan politik untuk menuntut pelaku pelanggaran kejahatn
internasional tersebut daripada masalah ketiadaan legislasi nasional yang
tepat. Pasca perang dunia kedua beberapa negara yang telah menetapkan
yurisdiksi universal dalam undang-undang nasionalnya anatara lain Austria,
Belgium, Bolivia, Brazil, Canada, Chile, Colombia, Costa Rica, Denmark,
Ecuador, El Salvador, France, Germany, Guatemala, Honduras, Mexico, Nicaragua,
Norway, Panama, Peru, Spain,Switzerland, Uruguay, and Venezuela.
Masalah
ketiga, menyangkut kehadiran pelaku di wilayah negara penuntut. Hukum nasional
Belgia ( 1993 dan 1999 ) juga Spanyol (pasal 23 the Law of Judicial Power 1985)
memungkinkan peradilan in absentia terhadap pelaku kejahatan yang ditundukan
pada rezim yurisdiksi universal.
Menyangkut
peradilan in absentia, Amensti
Internasional dalam prinsio ke-9nya mengharuskan negara-negara dalam
undang-undang nasionalnya menjamin untuk tidak mengizinkan dilaksanakannya
peradilan in absentia. Hal ini demi terwujudnya peradilan yang fair yang
merupakana hak terdakwa sebagaimana diakui dalamm berbagai instrumen
internasional.
Hakim
Higgins, Koojmans, dan Buerenthal dalam joint
separate opinion mereka menyatakan bahwa “ the exercise of universal
jurisdiction in absentia must be equipped with certain safeguards in place to
prevent misuse and to ensure that the rejection of imounity does not joepardize
stable relations between states.” Ringkasan safeguard yang dimaksud oleh ketiga hakim tersebut adalah :
a. Menghormati
inviolability dan imunitas dari
terdakwa;
b. Negara
yang kan melaksanakan yurisdiksi universal harus terlebih dahulu menawarkan
pada negara lain yang memiliki yurisdiksi terhadap terdakwa;
c. Tuduhan
hanya dapat dibuat oleh prosecutor yang
independent sepenuhnya;
d. Keseimbangan
antara imunity dan memajukan hubungan
baik antarnegara;
e. Yurisdiksi
universal hanya dapat dilakukan terhadap kejahatan yang dianggap sebagai the most heinous oleh masyarakat
internasional.
7.
Prinsip Perlindungan
Berdasarkan prinsip ini negara
memiliki yurisdiksi terhadap orang asing yang melakukan kejahatan yang sangat
serius yang mengancam kepentingan vital negara, keamanan, integritas dan
kedaulatan, serta kepentingan vital ekonomi negara. Beberpa contoh kejahatan
yang masuk yurisdiksi perlindungan antara lain spying, plots to overtrow the goverment, forging currency, immigration
and economic violation.
Meskipun dipraktikkan
dibeberapa HN negara
seperti Prancis, Inggris, dan termasuk Indonesia, namun prinsip ini terkadang
dipandang sangat berbahaya karena dapat
diinterprestasikan dengan sangat luas oleh suatu negara untuk mengadili
seseorang atas dasar perlindungan bagi negarannya.
C.
Penerapan Yurisdiksi Ekstrateritorial
Hukum internasional memang tidak
mengatur secara
detail pembatasan-pembatasan yurisdiksi satu negara, kecuali apa yang telah
dikenalkan dalam prinsip-prinsip yurisdiksi hukum internasional, misalnya bahwa suatu
negara tidak akan menjalankan yurisdiksinya terhadap orang, benda atau
perbuatan yang tidak ada sangkut paut dengan negaranya. Namun demikian,
seandainya suatu negara B melanggar hukum internasional maka negara A harus
membuktikan dimana letak pelanggaran yang telah di lakukan negara B.
Maka dari itu sering muncul
pertanyaan apakah suatu negara bisa menerapkan yurisdiksi extrateritorial-nya terhadap subjek hukum asing yang melakukan
perbuatan di luar wilayah negara tersebut. Yurisdiksi ekstrateritorial
digunakan beberapa negara berlandaskan kepentingan nasional, khususnya
kepentingan bisnis mereka.
Yurisdiksi ekstrateritorial
mengundang kontroversial khususnya dari sudut pandang yurisdiksi teritorial
karena tidak ada direct and immediate
link between the initiation and completion of the act sebagaimana ditemukan
dalam kasus Lotus yang menerapkan yurisdiksi teritorial sebagai subjek.
Contoh kasus penggunaan yurisdiksi
ekstrateritorial antara lain dalam kasus American Banana Co. Dalam kasus ini
penggugat adalah warga negara AS, pemilik perkebunan pisang di Costarica,
sedangkan tergugat adalah pemilik United Fruit Co. Tuntutan yang diajukan
adalah bahwa tergugat telah melanggar Sherman Act dengan cara membujuk
pemerintah Costarica untuk merampas tanah milik perkebuana Banana Co. Mahkamah
agung memustukan AS bahwa Sherman Act tidak dapat diterapkan terhadap United
Fruit Co atas kegiatan yang dilakukan diluar negeri bila kegiatan tersebut
tidak melanggar hukum Costarica. Pelanggaran terhadap hukum AS diluar negeri
tidak dapat dijadikan dasar tuntutan di pengadilan AS apabila tindakan tersebut
tidak bertentangan dengan hukum nasional dimana perbuatan itu dilakukan.
Dalam kasus Alcoa 1945, pemerintah
AS telah menggugat perusahaan Alcoa dan alumunium Ltd berdasarkan Sherman Act
dimana tergugat dituduh telah bersekongkol dengan berbagai perusahaan asing
(Swiss,Jerman,Inggris) untuk menghambat perdagangan domestik maupun luar negeri
AS dalam hal produksi dan penjualan alumuniaum. Perkara ini sudah menjadikan
preseden yurisdiksi ekstrateritorial yang sangat populer. Pengadilan banding AS
dalam putusannya menetapakan bahwa kongres tidak dapat menerapkan Sherman Act
apabila :
a. Tidak
ada maksud untuk menimbulkan akibat terhadap perdangangan AS;
b. Tidak
mempunyai akibat terhadap perdangangan AS;
Apabila kedua syarat
tersebut terpenuhi maka Sherman Act dapat diterapkan sekalipun kegiatannya
dilakukan di luar AS.
Selain AS, penerapan
yurisdikisi ekstrateritorial juga diterapkan oleh pengadilan Eropa (ECJ)
berkaitan dengan penerapan EC competition
law dalam kasus Wood Pulp. Dalam kasus ini muncul kontroversi seputar dua
hal menyangkut yurisdiksi ECJ dan subtansi tuntutan. Dalam kasus ini pengadilan
menetapkan bahwa lebih dari 42 supplier
of wwod pulp melanggar European
Community Competition Law. Perusahaaan-perusahaan tersebut 11 perusahaan
AS, 6 Canada, 11 Swedia, 11 Finlandia, 1 Norwegia, 1 Spanyol, dan 1 Portugal.
Perusahaan-perusahaan Non EC ini menjual barang mereka ke Eropa lewat berbagai
cara seperti agen, cabang, dan anak perusahaan yang berada di Eropa.
Pelaksanaan yurisdiksi
Ekstrateriotial sering menimbulkan banyak masalah. Investasi cabang perusahaan
yanga ada di luar negeri misalnya, akan memerlukan kerja sama dari otoritas
yang berwenang demikian halnya dengan enforcement
jurisdiction putusan pengadilan. Negara lain tidak memiliki kewajiban untuk
membantu atau berkerja sama dengan otoritas asing berkaitan dengan pengakuan
dan pelaksanaan putusan asing tersebut.
D.
kerja sama antar negara dalam penerapan yuridiksi.
Kedaulatan negara hanya dapat
dilaksanakan di wilayah atau teritorialnya dan akan berakhir ketika sudah
dimulai wilayah atau territorial negara lain. Meskipun suatu negara memiliki
judicial jurisdiction atau kewenangan untuk mengadili seseorang berdasarkan
prinsip-prinsip yuridiksi dalam hukum internasional, namun tidak begitu saja
negara dapat melaksanakanya ketika orang tersebut sudah melarikan diri ke
negara lain. Demikian pula berlaku terhadap seorang terpidana yang berhasil
kabur dari tahanan, negara tidak bisa langsung menangkapnya lagi ketika si
terpidana berhasil kabur keluar negeri. Untuk itulah dalam tata krama pergaulan
internasional dibutuhkan permohonan ekstradisi dari resquesting state kepada
requested state. Dengan demikian, keterbatasan kedaulatan teritorial bisa
dijembatani melalui kerja sama dengan negara lainnya untuk proses penegakan
hukumnya. Keberhasilan kerja sama penegakan hukum tersebut pada umumnya tidak
akan menjadi kenyataan jika tidak ada perjanjian bilateral atau multilateral
dalam penyerahan pelaku kejahatan atau dalam kerjasama penyidikan, penuntutan
dan peradilan. Prasyarat perjanjian tersebut tidak bersifat mutlak karena tanpa
ada perjanjian itupun kerja sama penegakan hukum dapat dilaksankan berlandaskan
asas resiprositas (timbal balik).
Kerja sama penerapan
yurisdiksi atau penegakan hukum yang tertua adalah ekstradisi kemudian diikuti
kerja sama penegakan hukum lainnya seperti dengan “mutual assistance in
criminal matters”, atau “mutual legal assistance treaty” (MLAT’s); “transfer of
sentenced person (TSP); “transfer of criminal proceedings” (TCP), dan “joint
investigation” serta“handing over.
Pemerintah Indonesia telah memiliki
undang-undang paying untuk ekstradisi dengan undang-undang nomor 1 tahun 1979
tentang ekstradisi, dan untuk kerjasama penyidikan dan penuntutan, termasuk
pembekuan dan penyitaan asset dengan undang-undang nomor 1 tahun 2006 tentang
bantuan timbal balik dalam masalah pidana. Perbedaan kedua bentuk perjanjian
kerja sama penegakan hukum tersebut adalah bahwa perjanjian ekstradisi untuk
tujuan penyerahan orang (pelaku kejahatan), sedangkan perjanjian MLTA’s untuk
tujuan perbantuan dalam proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang
peradilan pidana termasuk pengusutan, penyitaan dan pengembalian asset
kejahatan (ekstradisi) tidak serta merta merupakan pengembalian aset hasil
kejahatan yang dibawa pelaku kejahatan yang bersangkutan. Ekstradisi menurut
pasal 1 UU 1/1979 tentang ekstradisi adalah penyerahan oleh suatu negara kepada
yang meminta penyerahan seseorang yang disangka atau dipidana karena melakukan
suatu tindak pidana di luar wilayah yang menyerahkan dan di dalam yuridiksi
wilayah negara yang meminta penyerahan tersebut.
Sebenarnya
permohonan ekstradisi tidak harus melalui suatu perjanjian baik bilateral
maupun multilateral sebelumnya. Hubungan baik juga etikad baik kedua negara
jauh lebih penting dari keberadaan suatu perjanjian ekstradisi. Meskipun belum
memiliki perjanjian ekstradisi, Indonesia bersedia menyerahkan Abu Qusay,
seorang warga negara India tersangka pelaku human trafficking dan people
smuggling pada mesir, beberapa pertimbangan yang menyertai penyerahan Abu Qusay
antara lain hubungan yang sangat baik antara Indonesia dengan mesir, belum tersedianya
aturan hukum untuk mengadili pelaku human trafficking dan people smuggling di
Indonesia sehingga kalau tidak diserahkan pada negara lain yang juga berhak
mengadili dikhawatirkan si pelaku akan bebas dari hukuman. Sebaliknya meskipun
telah memiliki perjanjian ekstradisi dengan Australia. Indonesia tetap
memperoleh hambatan ketika meminta negara kangguru ini menyerahkan Hendra
Raharja, bos Bank Harapan Sentosa yang merugikan negara miliaran rupiah dengan
alasan bahwa yang bersangkutan sedang sakit dan memerlukan perawatan lebih
dahulu.
Namun demikian, tidaklah berarti bahwa
perjanjian ekstradisi tidak diperlukan. Dengan adanya perjanjian ekstradisi
permohonan dari resquesting state akan memperoleh landasan hukum yang lebih
kuat daripada bila antara kedua negara resquesting state dan resquested state
belum memiliki perjanjian ekstradisi.
Sampai saat ini Indonesia telah membuat
beberapa perjanjian ekstradisi yaitu pada tahun 1974 dengan Malaysia, tahun
1976 dengan Filipina, tahun 1978 dengan Thailand, tahun 1992 dengan Australia,
tahun 1997 dengan hongkong dan korea, dengan singapura tahun 2007 (belum
diratifikasi oleh kedua negara). Bagi Indonesia perjanjian ekstradisi dengan
singapura sangatlah penting mengingat banyaknya buronan khususnya koruptor dari
Indonesia yang lari dan bersembunyi di negara tersebut beserta harta jarahan
mereka yang mereka bawa dari Indonesia untuk diinvestasikan di singapura.
Selain melalui mekanisme perjanjian,
dalam praktik negara-negara dikenal yang namanya ekstradisi atau penyerahan
dibawah tangan yaitu penyerahan berdasarkan kerja sama kepolisian negara-negara
yang bersangkutan ataupun organization (ICPO/INTERPOL). Dengan cara ini dalam
tempo singkat, biaya ringan, dan tidak birokratis ekstradisi mudah dilakukan.
Terkait dengan ekstradisi dewasa ini negara-negara lazim menggunakan perjanjian
bilateral transfer of sentenced person (TSP) dan mutual legal assistance (MLA).
Perjanjian TSP digunakan untuk mentransfer seorang terpidana yang telah
menjalani sekian lama masa hukumannya di negara yang diminta untuk menjalani
sisa hukumanya di negara yang meminta. Adapun perjanjian MLA pada dasarnya
merupakan suatu mekanisme formal dimana suatu negara dapat meminta negara lain
untuk memberikan bantuan guna suatu penyidikan, penuntutan, pengadilan suatu
perkara pidana. MLA lazimnya meliputi bantuan untuk menyampaikan barang bukti,
pemeriksaan saksi, penggeledahan penyitaan, dan pengambilan barang atau harta
hasil kejahatan. Saat ini Indonesia telah menandatangani perjanjian MLA dengan
RRC Juli 2000. Disamping dengan Cina Indonesia juga telah memiliki perjanjian
MLA dengan Australia dan korea ditingkat regional, Indonesia dan singapura juga
telah menandatangani MLA untuk kawasan ASEAN.
Perjanjian ekstradisi tumbuh dari
praktik negara-negara yang kemudian menjadi hukum kebiasaan internasional. Pada
umumnya perjanjian-perjanjian ekstradisi akan memuat prinsip-prinsip sebagai
berikut:
1. prinsip kejahatan ganda
2. prinsip kekhsusan/spesialitas
3. prinsip tidak menyerahkan pelaku
kejahatan politik
4. prinsip tidak menyerahkan WN sendiri
5.prinsip Ne bis in idem
6. prinsip kedaluwarsa
Prinsip-prinsip di atas sudah terwadahi
dalam instrument hukum nasional yaitu UU No 1/1979 tentang ekstradisi. Di
samping hukum nasional yang bersumberkan pada hukum internasional, saat ini PBB
juga sudah mengeluarkan instrument khusus yang menjadi panduan dalam pembuatan
perjanjian ekstradisi yaitu Model Treaty on Extradition. Model ini bisa
diterapkan baik dalam perjanjian bilateral maupun internasional. UN model on
extradition tahun 1990, selain memuat prosedur permintaan, penolakan dan
persetujuan permintaan negara peminta untuk menyerahkan pelakunya, juga memasukkan
ketentuan mengenai surrender of property (pasal 13). Pasal 13 memungkinkan
negara diminta seketika perjanjian ekstradisi dipenuhi, maka menyerahan juga
property yang berasal dari kejahatan untuk mana pelakunya di ekstradisi. Model
PBB untuk ekstradisi ini lebih ekstrim lagi dimana sekalipun ekstradisi tidak
dapat dilaksanakan property dari hasil lain kejahatan tersebut dapat
dikembalikan atau untuk sementara dilakukan handing over atas property
tersebut.
Dalam kaitannya dengan korupsi, untuk
menunjukkan keseriusannya memerangi korupsi di Indonesia, pemerintah sudah
meratifikasi united nation convention against corruption melalui UU nomor 7
tahun 2006. Arti penting ratifikasi UNCAC bagi Indonesia:
1.
meningkatkan kerjasama internasional khususnya dalam melacak, membekukan
menyita, dan mengembalikan asset-aset hasil korupsi yang ditempatkan di luar
negeri.
2.
meningkatkan kerja sama internasional dalam mewujudkan tata pemerintahan yang
baik.
3.
meningkatkan kerja sama internasional dalam pelaksanaan perjanjian ekstradisi,
bantuan hukum timbale balik, penyerahan narapidana, pengalihan proses pidana,
dan kerja sama penengakan hukum.
4.
mendorong terjalinnya kerja sama teknik dan pertukaran informasi dalam
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di bawah paying kerja sama
pembangunan ekonomi dan bantuan teknis pada lingkup bilateral, regional dan
multilateral.
5.
Harmonisasi peraturan perundang-undangan nasional dalam pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana korupsi sesuai dengan konvensi ini.
BAB III
PENUTUP
3.1
Simpulan
Yurisdiksi negara dalam hukum
internasional berarti hak dari suatu negara untuk mengatur atau mempengaruhi
dengan langkah-langkah atau tindakan yang bersifat legislatif, eksekutif atau
yudikatif atas hak-hak individu, milik atau harta kekayaannya,
perilaku-perilaku atau peristiwa-peristiwa yang tidak semata-mata merupakan
masalah dalam negeri. Berdasarkan objeknya
yurisdiksi negara dibedakan menjadi yurisdiksi personal, yurisdiksi
kebendaan, yurisdiksi kriminal, yurisdiksi perdata, dan yurisdiksi eksklusif.
Adapun berkaitan dengan ruang atau tempat objek atau masalah yang bukan
semata-mata masalah domestik maka yurisdiksi negara dapat dibedakan menjadi
yurisdiksi teritorial, quasi teritorial, ekstrateritorial, universal dan eksklusif.
Secara garis besar yurisdiksi
pengadilan (judicial jurisdiction)
mencakup perdata dan pidana. Adapun
Prinsip-prinsip yuridiksi dalam HI
yaitu: Prinsip Yurisdiksi Teritorial, Prinsip Teritorial
Objektif, Prinsip Nasionalitas
Aktif, Prinsip Nasionalitas
Pasif, Prinsip Universal, Prinsip Perlindungan.
Yurisdiksi ekstrateritorial
digunakan beberapa negara berlandaskan kepentingan nasional, khususnya
kepentingan bisnis mereka. Yurisdiksi ekstrateritorial mengundang kontroversial
khususnya dari sudut pandang yurisdiksi teritorial karena tidak ada direct and immediate link between the
initiation and completion of the act sebagaimana ditemukan dalam kasus
Lotus yang menerapkan yurisdiksi teritorial sebagai subjek.
Kedaulatan negara hanya dapat
dilaksanakan di wilayah atau teritorialnya dan akan berakhir ketika sudah
dimulai wilayah atau territorial negara lain. dalam tata krama pergaulan
internasional dibutuhkan permohonan ekstradisi dari resquesting state kepada
requested state. Dengan demikian, keterbatasan kedaulatan teritorial bisa
dijembatani melalui kerja sama dengan negara lainnya untuk proses penegakan
hukumnya. Pemerintah
Indonesia telah memiliki undang-undang paying untuk ekstradisi dengan
undang-undang nomor 1 tahun 1979 tentang ekstradisi, dan untuk kerjasama
penyidikan dan penuntutan, termasuk pembekuan dan penyitaan asset dengan
undang-undang nomor 1 tahun 2006 tentang bantuan timbal balik dalam masalah
pidana.
DAFTAR
PUSTAKA
Sefriani. 2014. Hukum
Internasional. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Yaahowu kk
BalasHapus