PENDIDIKAN
HUKUM DI INDONESIA
Ristiani Gani Mendrofa, SH.,MH
FKIP PPKn
ABSTRAK
Kegunaan dari Pendidikan hukum adalah terpenuhinya kebutuhan masyarakat ,
baik yang berkaitan dengan profesi hukum maupun di luar profesi hukum . Dalam
Pendidikan hukum memiliki manfaat dan pengetahuan akademik hukum global , memiliki keterampilan yang
dibutuhkan dalam membimbing profesi hukum, memiliki kapasitas dalam ilmu
interdisipliner terutama mereka yang mendukung profesi di tempat kerja ,
memiliki etika profesional dan tanggung jawab. Dari aspek hukum, pendidikan
hukum telah memberikan dasar pemikiran ke arah swasembada kerja. Oleh karena
itu , hukum pendidikan yang diajarkan harus relevan dengan realitas di
masyarakat . Kata kunci : pendidikan Hukum , Kebutuhan masyarakat .
PENDAHULUAN
Fungsi penting dari pendidikan hukum sebagai subsistim dari
sistim hukum sangat penting dan mendasar. Pendekatan ini akan memungkinkan
pendidikan hukum tersusun secara terpadu dan fungsional, baik secara teoritis
maupun praktis dengan semua komponen sistim hukum (aturan hukum, penyelenggara
hukum, profesi hukum, pendidikan hukum, pembentuk hukum, dan pendidikan hukum).
Selama
ini, pendidikan hukum ditempatkan sebagai sesuatu yang berdiri sendiri. Hal ini
mengakibatkan pendidikan hukum beserta hasil-hasilnya kurang fungsional dalam
mengembangkan dan mengisi secara tepat komponen subsistim hukum yang lain.
Walaupun ada berbagai pendekatan baru dan percobaan menyusun struktur dan isi
pendidikan yang baru, tetapi tetap belum berhasil meniadakan semacam
keterpisahan dengan sub-sub sistim hukum lainnya.
Pemikiran
tentang dunia pendidikan perguruan tinggi di dalamnya termasuk bidang hukum.
Dalam masyarakat yang sedang membangun, maka pembaharuan pendidikan hukum
merupakan solusi dalam kerangka untuk memenuhi kebutuhan, baik yang berhubungan
dengan kebutuhan professi hukum maupun kebutuhan masyarakat pada umumnya.
Pembaharuan
dapat dilakukan, tidak selalu dalam hal yang berkenaan dengan tujuan pendidikan
hukum, akan tetapi dalam hal yang sifatnya teknis seperti: bidang kurikulum,
cara pengajaran, kriteria dan prosedur penentuan bahan pelajaran dan lain
sebagainya. Dengan demikian persoalan pembaharuan pendidikan hukum, selain
merupakan suatu masalah, juga merupakan suatu tantangan (challenge) yang akan
meminta perhatian kita, baik dalam bentuk tenaga pikiran maupun biaya.
Selain itu,
pendidikan hukum merupakan suatu peluang (opportunity), maka pertanyaannya
bagaimanakah pokok-pokok pikiran tentang pendidikan hukum yang bisa
dikembangkan dalam kerangka pemenuhan kebutuhan masyarakat? Melalui tulisan
ini,akan mencoba mengupas hal-hal yang berkenaan dengan pendidikan hukum
sekaligus untuk mengetahui pokok-pokok pikiran tentang pendidikan hukum dalam
kerangka pemenuhan kebutuhan masyarakat.
Melalui
pendidikan hukum tidak hanya dihasilkan ahli-ahli hukum yang mengetahui seluk
beluk aturan hukum, penerapan hukum dan akan mengisi kelembagaan di bidang
hukum, tetapi ikut "menciptakan" dan "mengembangkan" hukum
melalui ajaran hukum (legal doctrine) dan analisis hukum. Dalam kenyataan
tidak demikian. Hal ini terlihat pada kebijakan pembangunan hukum di Indonesia.
Pembangunan atau pembaharuan pendidikan hukum ditempatkan sebagai komponen
pembangunan, atau pembaharuan hukum melainkan sebagai komponen pembangunan
pendidikan. Pembangunan pendidikan hukum terlepas dan tidak merupakan bagian
integral pembangunan atau pembaharuan hukum.
PEMBAHASAN
Pendidikan Hukum mempunyai persoalan yang dihadapi berkenaan dengan pembinaan pendidikan
tinggi di Indonesia, dimana di dalamnya termasuk pendidikan tinggi dibidang
hukum yaitu persoalan bagaimana mempertahankan dan meningkatkan mutu pendidikan
hukum yang mampu menjangkau kebutuhan masyarakat dan dapat hidup mandiri.
Terdapat beberapa kesulitan dan faktor- faktor yang mempengaruhinya dalam usaha
mempertahankan dan meningkatkan mutu pendidikan hukum dalam kaitannya dengan
fungsi hukum sebagai suatu alat pembaharuan masyarakat.
Meskipun sejak tahun tujuh puluhan, bahkan tahun enam
puluhan telah ada berbagai upaya pembaharuan struktur dan isi pendidikan hukum,
tetapi hal itu belum menceminkan keterkaitannya dengan sistim hukum.
Cabang-cabang atau disiplin iimu hukum yang diajarkan tidak menjamin keluaran
(sarjana hukum) yang berpikir dalam satu kebulatan hukum sebagai sebuah sistim.
Dengan struktur dan isi kurikulum
yang terkotak-kotak --seperti sistim penjurusan atau program studi yang ketat--
menyebabkan mahasiswa dan lulusan hanya berpikir dalam kotak-kotak tersebut.
Tidak jarang, mahasiswa atau sarjana hukum begitu bangga kalau berada dalam
lingkungan program studi tertentu seperti progran studi hukum-internasional
atau hukum bisnis dan tidak ada perasaan kurang karena tidak menguasai bidang
hukum lain seperti hukum pidana, hukum perdata, hukum administrasi atau hukum
tata negara. Meskipun cabang-cabang atau disiplin iimu hukum yang disebut
terakhir merupakan hal yang wajib, tetapi tetap menganggap hal tersebut sebagai
sesuatu yang kurang penting dibandingkan dengan program studi utamanya.
Betapapun mendalamnya studi-studi
dalam kotak-kotak tersebut, akan tetapi menyebabkan para lulusan tetap tidak
siap pakai karena hukum sebagai suatu yang nyata (law in action)
bersifat lintas disiplin, tidak berkotak-kotak. Selama hal tersebut tidak
dibenahi secara komprehensif dengan meletakkan sistim hukum sebagai dasar
pendekatan pendidikan hukum dan menempatkan hukum sebagai komponen sistim
hukum, selama itu pula akan selalu ada keluhan mengenai kemampuan serjana hukum
untuk secara berrnutu turut serta dalam pembangunan termasuk dalam penegakan
hukum yang berkualitas.
Untuk menambal kekurangan tersebut
berkembanglah upaya tambahan, baik secara institusional seperti pendidikan
lanjutan, latihan prajabatan, atau usaha-usaha tidak resmi lainnya. Karena itu
betapa penting meniadakan kotak-kotak program studi, dan membangun isi
kurikulum yang mencerminkan kebulatan pendidikan hukum sebagai pendidikan
sistim hukum, bukan pendidikan kaidah hukum belaka. Pendidikan hukum harus
mengendepankan latihan untuk siap berpikir bukan sekedar siap pakai.
Dalam kerangka kurikulum yang ada,
kebulatan itu diharapkan dicapai melalui filsafat hukum dan atau teori hukum.
Tetapi dalam kenyataan tidak demikian. Penyebabnya, isi pengajaran filsafat
hukum dan atau teori hukum pada umumnya didekati dari perspektif sejarah
perkembangan pemikiran atau suatu teori hukum yang dimulai dengan teori yang
paling awal, seperti teori hukum alam dan seterusnya.
Perlu dipikirkan suatu pendekatan
lintas sejarah pemikiran yang bersifat tematis. Seperti tema masyarakat dan
hukum, yang meliputi sub tema hukum dan kesadaran hukum, hukum dan
pembanguinan, hukum dalam perspektif perubahan sosial dan lain-lain. Tema lain
seperti tujuan hukum dan fungsi hukum yang mencakup bahasan hukum sebagai
tujuan, hukum sebagai instrumen dan lain-lain. Selain lebih kongkrit,
pendekatan teoritis ini akan melatih mahasiswa berpikir lintas teori atau
pemikiran yang terkotak-kotak untuk menuju cara berpikir yang komprehensif dan
integral.
Dalam pendidikan integral ini dapat
pula ditunjang dengan mengembangkan sistim hukum sebagai mata kuliah yang
berdiri sendiri termasuk kajian mengenai pendidikan hukum. Latihan berpikir
komprehensif rasional tidak identik dengan menyajikan sebanyak-banyaknya aneka
ragam disiplin ilmu. Sebaran mata kuliah yang terlalu banyak dengan sistim
pendidikan dalam semester yang singkat tanpa ditunjang oleh sistim penyajian
dan fasilitas yang memadai, menjadi salah satu faktor lemahnya sarjana hukum
untuk menjalankan peran yang diharapkan, baik dalam memenuhi tuntutan pembangunan
maupun penegakkan hukum. Kelemahan makin bertambah karena pengajaran etika
hukum dalam profesi hukum tidak atau belum menjadi komponen utama pendidikan
hukum.
Masyarakat
Negara berkembang dengan suatu sistem yang pluralistik di mana sistem dan
lembaga-lembaga hukum dapat berlaku berdampingan dengan sistem dan lembaga-
lembaga hukum barat dan mungkin sistem dan lembaga hukum asing lainnya
menghadapi suatu masalah yang khusus. 8. Kurangnya fasilitas termasuk
pembayaran gaji yang cukup baik untuk menarik tenaga- tenaga yang baik ke dalam
pendidikan atau mempertahankan yang ada supaya tetap tinggal di kalangan
pendidikan. Sebab yang lain adalah kurangnya bacaan atau minat untuk membaca
atau mungkin dua-duanya. Ada lagi hal yang harus mendapat perhatian. Menurut
Satjipto Rahardjo terdapat tiga tipe dasar dari kekuasaan yang sah antara lain:
(1), Kharismatis, yang bertumpu pada kesetiaan kepada keistimewaan yang
menonjol dari seseorang dan kepada tatanan yang dikeluarkan oleh orang yang
menjadi sanjungan kesetiaan itu. (2), Tradisional, didasarkan pada kepercayaan
yang telah mapan dan melembaga mengenai tradisi turun temurun, termasuk
kepercayaan kepada legitimasi dari mereka yang menjalankan kekuasaan atas dasar
tradisi itu (3), Rasional, yang bertumpu pada kepercayaan terhadap kesahihan
pola-pola dari kaidah-kaidah normative dan terhadap hak dari mereka yang
memiliki otoritas, untuk mengeluarkan perintah-perintah.. menurut beliau, bahwa
pengajaran hukum di kebanyakan tempat pendidikan sudah tidak lebih dari suatu
proses hafal menghafal semata-mata.
Kesulitan-kesulitan
yang kita hadapi terutama disebabkan oleh : a. luasnya wilayah Negara
dibandingkan dengan Negara-negara tetangga kita ; tambahan pula formasi Negara
kita yang terdiri dari beratus-ratus pulau. b. Banyaknya penduduk yang juga
sangat heterogen sifat dan latar belakang kebudayaannya. c. Sangat tipisnya
dana yang tersedia untuk pembangunan. d. Sangat sedikitnya tenaga ahli dan
rendahnya tingkat pendidikan di segala bidang. e. Tekanan politik, ekonomi dan
militer dari dunia luar Indonesia yang mempengaruhi kehidupan Indonesia di
segala bidang. Kesulitan-kesulitan tersebut berakibat pada setiap dilakukan
suatu perbaikan di satu fihak akan mudah, akan tetapi di fihak lain menyebabkan
terjadinya kemunduran atau ketidakadilan terhadap fihak lain. Dengan demikian
menurut beliau perlu dilakukan suatu perencanaan yang teliti dan pengaturan
yang adil dalam usaha pembangunan kita yang merupakan condition sine qua non.
Persoalan yang
harus diatur oleh peraturan perundang-undangan dalam masyarakat yang sedang
membangun sekurang-kurangnya dapat dibagi dua hal yaitu: Pertama, persoalan
yang berkenaan dengan kehidupan pribadi seseorang dalam hubungannya dengan
kehidupan budaya dan spiritual masyarakat. Kedua, persoalan yang berkenaan
antara masyarakat dengan kemajuan pada umumnya yang bersifat netral dilihat
dari sudut kebudayaan. Problematika pendidikan hukum, juga berkenaan dengan
pembaharuan yang sifatnya teknis, seperti aspek kurikulum, methode pengajaran,
dan metode pendekatan.
Adapun problematika pembaharuan pendidikan
hukum dalam arti yang luas adalah bagaimana pendidikan hukum itu sendiri dapat
menjangkau sekaligus dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Pembaharuan baik
dalam arti teknis maupun dalam arti luas harus mencerminkan adanya perubahan
sikap seseorang terhadap persoalan (attitudinal problem). Selain itu
problematika pendidikan hukum erat kaitannya dengan usaha pembaharuan hukum,
bahwa hukum tidak hanya sebagai kaidah belaka, tetapi juga dengan meminjam
istilah Mochtar Kusumaatmadja sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Teori
hukum ini, ada kesamaan dengan teori “Law as a tool of social engineering”,
yang dikemukakan oleh Roscoe Pound dalam karyanya An Introduction into the
Philosophy of Law. Pandangan seperti ini, oleh sebahagian para ahli hukum di
Indonesia tetap masih berlaku dan dipertahankan. Rupanya hal tersebut, dipengaruhi
oleh 2 (dua) ajaran yaitu: Pertama, ajaran madzhab sejarah yang dipelopori oleh
Von Savigny, bahwa hukum itu tidak dibuat, akan tetapi tumbuh bersama-sama
dengan masyarakat yang bersangkutan (Das Recht wird nicht gemacht, aber ist und
wird mit dem Volke). Kedua, ajaran Ter Haar terkenal dengan teori
Beslissingenleer (teori Keputusan). Teori ini, mengemukakan, bahwa hanya
kebiasaan-kebiasaan yang diakui oleh para penguasa (kepala adat) di dalam
keputusan- keputusan itulah yang merupakan hukum. Dengan demikian hanya
terdapat kaidah-kaidah yang sudah merupakan kebiasaan di dalam masyarakat yang
menjadi kaidah hukum. Perbedaan pemikiran tersebut berpengaruh terhadap usaha
pembaharuan pendidikan hukum. Dengan demikian pembaharuan merupakan reorientasi
pendidikan hukum sebagai suatu masalah umum yang dihadapi dalam dunia
pendidikan hukum sekaligus merupakan suatu tantangan (challenge), response and
opportunity.
Tujuan pokok
dari usaha meningkatkan pendidikan hukum menurut Mochtar Kusumaatmadja adalah terselenggaranya
pendidikan hukum yang diarahkan dan disesuaikan dengan kepentingan dan
ketentuan pembinaan hukum nasional. Usaha pokok yang akan dilakukan ialah
membantu kegiatan- kegiatan pembaharuan pendidikan hukum yang bertujuan
menghasilkan lulusan yang memenuhi kebutuhan masyarakat yang sedang membangun
dan memiliki keterampilan, daya kreasi, rasa tanggung jawab, pengabdian pada
kepentingan umum, penegakan hukum, dan keadilan.
Berdasarkan
pemikiran tersebut dapat dikatakan, bahwa persoalan mempertahankan dan
meningkatkan mutu pendidikan yang mampu menjangkau kebutuhan masyarakat,
merupakan suatu agenda yang yang tidak bisa ditawar lagi dan harus
dilaksanakan. Selama ini, ada pemikiran-pemikiran yang mengemuka hingga
perlunya untuk melakukan pembaharuan dibidang pendidikan hukum. Pemikiran-
tersebut antara lain: 1. Ada suatu pendapat mengenai pembinaan profesi hukum di
Indonesia, sebaiknya dilakukan setelah lulus jadi Sarjana Hukum (SH), karena
pada dasarnya pendidikan di perguruan tinggi hanya bertujuan memberikan suatu
dasar pengetahuan akademis tentang hukum yang bersifat umum. 2. Kiranya bukan
rahasia lagi, bahwa pendidikan hukum yang diperoleh di perguruan tinggi kurang
relevan, bahkan tidak bersentuhan langsung dengan kenyataannya di tempat bekerja
oleh para lulusan. 3. Para lulusan merasa tidak dipersiapkan untuk
pekerjaan-pekerjaan praktis yang mereka harus kerjakan misalnya : menyusun
naskah perjanjian, legal drafting, dan lain sebagainya. 4. Para lulusan tidak
dipersiapkan untuk memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi, walaupun bekal
pengetahuan untuk memecahkannya mungkin ada.
Pemikiran-tersebut
rupanya dipengaruhi oleh suatu pandangan yang merupakan warisan dari zaman
kolonial Belanda, dimana pembinaan keterampilan professional (professional
skills) kurang diperhatikan, bahkan diabaikan sama sekali, sebagaimana
dikatakan, bahwa pembinaan profesi hukum di Indonesia hingga sekarang sebaiknya
dilakukan setelah lulus dari Fakultas Hukum atau setelah jadi Sarjana Hukum
(SH), karena mempelajari keterampilan professional (professional skills) hanya
dapat dilakukan dalam praktek, sedangkan pendidikan diperguaran tinggi hanya
bertujuan memberikan suatu dasar pengetahuan akademis tentang hukum yang
bersifat umum.
Fakultas Hukum merupakan suatu “Fakulteit der
rechtsgeleerdheid” Fakultas ilmu-ilmu hukum yang mendidik Sarjana Hukum.
Berlainan dengan apa yang dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja, bahwa
perlunya pembaharuan pendidikan untuk dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.
Gagasan ini ada kesamaan dengan system perguruan tinggi hukum (law schools) di
Amerika Serikat (AS) diarahkan untuk menjadi professional school tempat
mendidik ahli hukum. Jadi para mahasiswa di perguruan tinggi selain mempelajari
dasar pengetahuan akademis tentang hukum secara global, juga dibekali
keterampilan professional yang diperlukan dalam professi hukum. Pendidikan
professional secara keseluruhan meliputi: (1), menguasai dasar pengetahuan
akademis tentang hukum secara global. (2), menguasai keterampilan yang
diperlukan dalam professi hukum. (3), memiliki etika profesi (professional
ethics) dan tanggung jawab professi (professional rensponsibility). (4),
perubahan sikap seseorang terhadap masalah (attitudinal problem) dan menanamkan
suatu “problem solving attitude”.
PENUTUP
Pendidikan hukum untuk mampu memenuhi
kebutuhan masyarakat. Hal ini, dapat dilakukan melalui dua pokok pemikiran
yaitu: pertama dengan cara mempertahankan dan mengembangkan pendidikan hukum
dibidang propessi hukum, dan kedua melalui pemberdayaan kewirausahaan ke arah
kemandirian melalui penyajian mata kuliah sebagai faktor pendukungnya.
Dalam sistim
sosial yang demokratik yang ditopang oleh prinsip supremasi hukum, tidak ada
yang meragukan pendidikan hukum adalah sumber pembangunan dan penegakkan hukum,
baik dalam mewujudkan sumber daya manusia ahli hukum maupun berbagai pemikiran
hukum yang dapat diandalkan dalam pembentukan hukum, penyempurnaan hukum, dan
penyelenggaraan hukum.
Untuk mencapai peran tersebut perlu
peninjauan keadaan internal pendidikan hukum yang memungkinkan atau tidak
memungkinkan pelaksanaan peran tersebut. Inilah tujuan uraian di atas yaitu
sekedar meminta perhatian mengenai persoalan-persoalan yang dihadapi pendidikan
hukum yang akan menghambat atau tidak memungkinkan pendidikan hukum dapat
menjalankan peran yang diharapkan atau yang semestinya itu.
DAFTAR PUSTAKA
E. Bodenheimer, Jurisprudence, the Philoshophy and Method of
the Law, Cambridge Mass: Harvard University Press, 1974.
Sunaryati Hartono, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia,
Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Republik Indonesia; Binacipta
Bandung 1988
Kusumaatmadja Mochtar,
Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan,
Alumni, Bandung, 2002
Rahardjo Satjipto, Ilmu Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2000.