Kamis, 10 Maret 2016

PENDIDIKAN HUKUM DI INDONESIA



PENDIDIKAN HUKUM DI INDONESIA
Ristiani Gani Mendrofa, SH.,MH
FKIP PPKn
ABSTRAK
Kegunaan dari Pendidikan hukum adalah terpenuhinya kebutuhan masyarakat , baik yang berkaitan dengan profesi hukum maupun di luar profesi hukum . Dalam Pendidikan hukum  memiliki manfaat dan pengetahuan akademik hukum global , memiliki keterampilan yang dibutuhkan dalam membimbing profesi hukum, memiliki kapasitas dalam ilmu interdisipliner terutama mereka yang mendukung profesi di tempat kerja , memiliki etika profesional dan tanggung jawab. Dari aspek hukum, pendidikan hukum telah memberikan dasar pemikiran ke arah swasembada kerja. Oleh karena itu , hukum pendidikan yang diajarkan harus relevan dengan realitas di masyarakat . Kata kunci : pendidikan Hukum , Kebutuhan masyarakat .

PENDAHULUAN
Fungsi penting dari pendidikan hukum sebagai subsistim dari sistim hukum sangat penting dan mendasar. Pendekatan ini akan memungkinkan pendidikan hukum tersusun secara terpadu dan fungsional, baik secara teoritis maupun praktis dengan semua komponen sistim hukum (aturan hukum, penyelenggara hukum, profesi hukum, pendidikan hukum, pembentuk hukum, dan pendidikan hukum).
Selama ini, pendidikan hukum ditempatkan sebagai sesuatu yang berdiri sendiri. Hal ini mengakibatkan pendidikan hukum beserta hasil-hasilnya kurang fungsional dalam mengembangkan dan mengisi secara tepat komponen subsistim hukum yang lain. Walaupun ada berbagai pendekatan baru dan percobaan menyusun struktur dan isi pendidikan yang baru, tetapi tetap belum berhasil meniadakan semacam keterpisahan dengan sub-sub sistim hukum lainnya.
Pemikiran tentang dunia pendidikan perguruan tinggi di dalamnya termasuk bidang hukum. Dalam masyarakat yang sedang membangun, maka pembaharuan pendidikan hukum merupakan solusi dalam kerangka untuk memenuhi kebutuhan, baik yang berhubungan dengan kebutuhan professi hukum maupun kebutuhan masyarakat pada umumnya.
Pembaharuan dapat dilakukan, tidak selalu dalam hal yang berkenaan dengan tujuan pendidikan hukum, akan tetapi dalam hal yang sifatnya teknis seperti: bidang kurikulum, cara pengajaran, kriteria dan prosedur penentuan bahan pelajaran dan lain sebagainya. Dengan demikian persoalan pembaharuan pendidikan hukum, selain merupakan suatu masalah, juga merupakan suatu tantangan (challenge) yang akan meminta perhatian kita, baik dalam bentuk tenaga pikiran maupun biaya.
Selain itu, pendidikan hukum merupakan suatu peluang (opportunity), maka pertanyaannya bagaimanakah pokok-pokok pikiran tentang pendidikan hukum yang bisa dikembangkan dalam kerangka pemenuhan kebutuhan masyarakat? Melalui tulisan ini,akan mencoba mengupas hal-hal yang berkenaan dengan pendidikan hukum sekaligus untuk mengetahui pokok-pokok pikiran tentang pendidikan hukum dalam kerangka pemenuhan kebutuhan masyarakat.
Melalui pendidikan hukum tidak hanya dihasilkan ahli-ahli hukum yang mengetahui seluk beluk aturan hukum, penerapan hukum dan akan mengisi kelembagaan di bidang hukum, tetapi ikut "menciptakan" dan "mengembangkan" hukum melalui ajaran hukum (legal doctrine) dan analisis hukum. Dalam kenyataan tidak demikian. Hal ini terlihat pada kebijakan pembangunan hukum di Indonesia. Pembangunan atau pembaharuan pendidikan hukum ditempatkan sebagai komponen pembangunan, atau pembaharuan hukum melainkan sebagai komponen pembangunan pendidikan. Pembangunan pendidikan hukum terlepas dan tidak merupakan bagian integral pembangunan atau pembaharuan hukum.

PEMBAHASAN

 Pendidikan Hukum mempunyai persoalan yang dihadapi berkenaan dengan pembinaan pendidikan tinggi di Indonesia, dimana di dalamnya termasuk pendidikan tinggi dibidang hukum yaitu persoalan bagaimana mempertahankan dan meningkatkan mutu pendidikan hukum yang mampu menjangkau kebutuhan masyarakat dan dapat hidup mandiri. Terdapat beberapa kesulitan dan faktor- faktor yang mempengaruhinya dalam usaha mempertahankan dan meningkatkan mutu pendidikan hukum dalam kaitannya dengan fungsi hukum sebagai suatu alat pembaharuan masyarakat.
Meskipun  sejak tahun tujuh puluhan, bahkan tahun enam puluhan telah ada berbagai upaya pembaharuan struktur dan isi pendidikan hukum, tetapi hal itu belum menceminkan keterkaitannya dengan sistim hukum. Cabang-cabang atau disiplin iimu hukum yang diajarkan tidak menjamin keluaran (sarjana hukum) yang berpikir dalam satu kebulatan hukum sebagai sebuah sistim.
            Dengan struktur dan isi kurikulum yang terkotak-kotak --seperti sistim penjurusan atau program studi yang ketat-- menyebabkan mahasiswa dan lulusan hanya berpikir dalam kotak-kotak tersebut. Tidak jarang, mahasiswa atau sarjana hukum begitu bangga kalau berada dalam lingkungan program studi tertentu seperti progran studi hukum-internasional atau hukum bisnis dan tidak ada perasaan kurang karena tidak menguasai bidang hukum lain seperti hukum pidana, hukum perdata, hukum administrasi atau hukum tata negara. Meskipun cabang-cabang atau disiplin iimu hukum yang disebut terakhir merupakan hal yang wajib, tetapi tetap menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang kurang penting dibandingkan dengan program studi utamanya.
            Betapapun mendalamnya studi-studi dalam kotak-kotak tersebut, akan tetapi menyebabkan para lulusan tetap tidak siap pakai karena hukum sebagai suatu yang nyata (law in action) bersifat lintas disiplin, tidak berkotak-kotak. Selama hal tersebut tidak dibenahi secara komprehensif dengan meletakkan sistim hukum sebagai dasar pendekatan pendidikan hukum dan menempatkan hukum sebagai komponen sistim hukum, selama itu pula akan selalu ada keluhan mengenai kemampuan serjana hukum untuk secara berrnutu turut serta dalam pembangunan termasuk dalam penegakan hukum yang berkualitas.
            Untuk menambal kekurangan tersebut berkembanglah upaya tambahan, baik secara institusional seperti pendidikan lanjutan, latihan prajabatan, atau usaha-usaha tidak resmi lainnya. Karena itu betapa penting meniadakan kotak-kotak program studi, dan membangun isi kurikulum yang mencerminkan kebulatan pendidikan hukum sebagai pendidikan sistim hukum, bukan pendidikan kaidah hukum belaka. Pendidikan hukum harus mengendepankan latihan untuk siap berpikir bukan sekedar siap pakai.
            Dalam kerangka kurikulum yang ada, kebulatan itu diharapkan dicapai melalui filsafat hukum dan atau teori hukum. Tetapi dalam kenyataan tidak demikian. Penyebabnya, isi pengajaran filsafat hukum dan atau teori hukum pada umumnya didekati dari perspektif sejarah perkembangan pemikiran atau suatu teori hukum yang dimulai dengan teori yang paling awal, seperti teori hukum alam dan seterusnya.
            Perlu dipikirkan suatu pendekatan lintas sejarah pemikiran yang bersifat tematis. Seperti tema masyarakat dan hukum, yang meliputi sub tema hukum dan kesadaran hukum, hukum dan pembanguinan, hukum dalam perspektif perubahan sosial dan lain-lain. Tema lain seperti tujuan hukum dan fungsi hukum yang mencakup bahasan hukum sebagai tujuan, hukum sebagai instrumen dan lain-lain. Selain lebih kongkrit, pendekatan teoritis ini akan melatih mahasiswa berpikir lintas teori atau pemikiran yang terkotak-kotak untuk menuju cara berpikir yang komprehensif dan integral.
            Dalam pendidikan integral ini dapat pula ditunjang dengan mengembangkan sistim hukum sebagai mata kuliah yang berdiri sendiri termasuk kajian mengenai pendidikan hukum. Latihan berpikir komprehensif rasional tidak identik dengan menyajikan sebanyak-banyaknya aneka ragam disiplin ilmu. Sebaran mata kuliah yang terlalu banyak dengan sistim pendidikan dalam semester yang singkat tanpa ditunjang oleh sistim penyajian dan fasilitas yang memadai, menjadi salah satu faktor lemahnya sarjana hukum untuk menjalankan peran yang diharapkan, baik dalam memenuhi tuntutan pembangunan maupun penegakkan hukum. Kelemahan makin bertambah karena pengajaran etika hukum dalam profesi hukum tidak atau belum menjadi komponen utama pendidikan hukum.
Masyarakat Negara berkembang dengan suatu sistem yang pluralistik di mana sistem dan lembaga-lembaga hukum dapat berlaku berdampingan dengan sistem dan lembaga- lembaga hukum barat dan mungkin sistem dan lembaga hukum asing lainnya menghadapi suatu masalah yang khusus. 8. Kurangnya fasilitas termasuk pembayaran gaji yang cukup baik untuk menarik tenaga- tenaga yang baik ke dalam pendidikan atau mempertahankan yang ada supaya tetap tinggal di kalangan pendidikan. Sebab yang lain adalah kurangnya bacaan atau minat untuk membaca atau mungkin dua-duanya. Ada lagi hal yang harus mendapat perhatian. Menurut Satjipto Rahardjo terdapat tiga tipe dasar dari kekuasaan yang sah antara lain: (1), Kharismatis, yang bertumpu pada kesetiaan kepada keistimewaan yang menonjol dari seseorang dan kepada tatanan yang dikeluarkan oleh orang yang menjadi sanjungan kesetiaan itu. (2), Tradisional, didasarkan pada kepercayaan yang telah mapan dan melembaga mengenai tradisi turun temurun, termasuk kepercayaan kepada legitimasi dari mereka yang menjalankan kekuasaan atas dasar tradisi itu (3), Rasional, yang bertumpu pada kepercayaan terhadap kesahihan pola-pola dari kaidah-kaidah normative dan terhadap hak dari mereka yang memiliki otoritas, untuk mengeluarkan perintah-perintah.. menurut beliau, bahwa pengajaran hukum di kebanyakan tempat pendidikan sudah tidak lebih dari suatu proses hafal menghafal semata-mata.
Kesulitan-kesulitan yang kita hadapi terutama disebabkan oleh : a. luasnya wilayah Negara dibandingkan dengan Negara-negara tetangga kita ; tambahan pula formasi Negara kita yang terdiri dari beratus-ratus pulau. b. Banyaknya penduduk yang juga sangat heterogen sifat dan latar belakang kebudayaannya. c. Sangat tipisnya dana yang tersedia untuk pembangunan. d. Sangat sedikitnya tenaga ahli dan rendahnya tingkat pendidikan di segala bidang. e. Tekanan politik, ekonomi dan militer dari dunia luar Indonesia yang mempengaruhi kehidupan Indonesia di segala bidang. Kesulitan-kesulitan tersebut berakibat pada setiap dilakukan suatu perbaikan di satu fihak akan mudah, akan tetapi di fihak lain menyebabkan terjadinya kemunduran atau ketidakadilan terhadap fihak lain. Dengan demikian menurut beliau perlu dilakukan suatu perencanaan yang teliti dan pengaturan yang adil dalam usaha pembangunan kita yang merupakan condition sine qua non.
Persoalan yang harus diatur oleh peraturan perundang-undangan dalam masyarakat yang sedang membangun sekurang-kurangnya dapat dibagi dua hal yaitu: Pertama, persoalan yang berkenaan dengan kehidupan pribadi seseorang dalam hubungannya dengan kehidupan budaya dan spiritual masyarakat. Kedua, persoalan yang berkenaan antara masyarakat dengan kemajuan pada umumnya yang bersifat netral dilihat dari sudut kebudayaan. Problematika pendidikan hukum, juga berkenaan dengan pembaharuan yang sifatnya teknis, seperti aspek kurikulum, methode pengajaran, dan metode pendekatan.
 Adapun problematika pembaharuan pendidikan hukum dalam arti yang luas adalah bagaimana pendidikan hukum itu sendiri dapat menjangkau sekaligus dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Pembaharuan baik dalam arti teknis maupun dalam arti luas harus mencerminkan adanya perubahan sikap seseorang terhadap persoalan (attitudinal problem). Selain itu problematika pendidikan hukum erat kaitannya dengan usaha pembaharuan hukum, bahwa hukum tidak hanya sebagai kaidah belaka, tetapi juga dengan meminjam istilah Mochtar Kusumaatmadja sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Teori hukum ini, ada kesamaan dengan teori “Law as a tool of social engineering”, yang dikemukakan oleh Roscoe Pound dalam karyanya An Introduction into the Philosophy of Law. Pandangan seperti ini, oleh sebahagian para ahli hukum di Indonesia tetap masih berlaku dan dipertahankan. Rupanya hal tersebut, dipengaruhi oleh 2 (dua) ajaran yaitu: Pertama, ajaran madzhab sejarah yang dipelopori oleh Von Savigny, bahwa hukum itu tidak dibuat, akan tetapi tumbuh bersama-sama dengan masyarakat yang bersangkutan (Das Recht wird nicht gemacht, aber ist und wird mit dem Volke). Kedua, ajaran Ter Haar terkenal dengan teori Beslissingenleer (teori Keputusan). Teori ini, mengemukakan, bahwa hanya kebiasaan-kebiasaan yang diakui oleh para penguasa (kepala adat) di dalam keputusan- keputusan itulah yang merupakan hukum. Dengan demikian hanya terdapat kaidah-kaidah yang sudah merupakan kebiasaan di dalam masyarakat yang menjadi kaidah hukum. Perbedaan pemikiran tersebut berpengaruh terhadap usaha pembaharuan pendidikan hukum. Dengan demikian pembaharuan merupakan reorientasi pendidikan hukum sebagai suatu masalah umum yang dihadapi dalam dunia pendidikan hukum sekaligus merupakan suatu tantangan (challenge), response and opportunity.
Tujuan pokok dari usaha meningkatkan pendidikan hukum menurut Mochtar Kusumaatmadja adalah terselenggaranya pendidikan hukum yang diarahkan dan disesuaikan dengan kepentingan dan ketentuan pembinaan hukum nasional. Usaha pokok yang akan dilakukan ialah membantu kegiatan- kegiatan pembaharuan pendidikan hukum yang bertujuan menghasilkan lulusan yang memenuhi kebutuhan masyarakat yang sedang membangun dan memiliki keterampilan, daya kreasi, rasa tanggung jawab, pengabdian pada kepentingan umum, penegakan hukum, dan keadilan.
Berdasarkan pemikiran tersebut dapat dikatakan, bahwa persoalan mempertahankan dan meningkatkan mutu pendidikan yang mampu menjangkau kebutuhan masyarakat, merupakan suatu agenda yang yang tidak bisa ditawar lagi dan harus dilaksanakan. Selama ini, ada pemikiran-pemikiran yang mengemuka hingga perlunya untuk melakukan pembaharuan dibidang pendidikan hukum. Pemikiran- tersebut antara lain: 1. Ada suatu pendapat mengenai pembinaan profesi hukum di Indonesia, sebaiknya dilakukan setelah lulus jadi Sarjana Hukum (SH), karena pada dasarnya pendidikan di perguruan tinggi hanya bertujuan memberikan suatu dasar pengetahuan akademis tentang hukum yang bersifat umum. 2. Kiranya bukan rahasia lagi, bahwa pendidikan hukum yang diperoleh di perguruan tinggi kurang relevan, bahkan tidak bersentuhan langsung dengan kenyataannya di tempat bekerja oleh para lulusan. 3. Para lulusan merasa tidak dipersiapkan untuk pekerjaan-pekerjaan praktis yang mereka harus kerjakan misalnya : menyusun naskah perjanjian, legal drafting, dan lain sebagainya. 4. Para lulusan tidak dipersiapkan untuk memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi, walaupun bekal pengetahuan untuk memecahkannya mungkin ada.
Pemikiran-tersebut rupanya dipengaruhi oleh suatu pandangan yang merupakan warisan dari zaman kolonial Belanda, dimana pembinaan keterampilan professional (professional skills) kurang diperhatikan, bahkan diabaikan sama sekali, sebagaimana dikatakan, bahwa pembinaan profesi hukum di Indonesia hingga sekarang sebaiknya dilakukan setelah lulus dari Fakultas Hukum atau setelah jadi Sarjana Hukum (SH), karena mempelajari keterampilan professional (professional skills) hanya dapat dilakukan dalam praktek, sedangkan pendidikan diperguaran tinggi hanya bertujuan memberikan suatu dasar pengetahuan akademis tentang hukum yang bersifat umum.
 Fakultas Hukum merupakan suatu “Fakulteit der rechtsgeleerdheid” Fakultas ilmu-ilmu hukum yang mendidik Sarjana Hukum. Berlainan dengan apa yang dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja, bahwa perlunya pembaharuan pendidikan untuk dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Gagasan ini ada kesamaan dengan system perguruan tinggi hukum (law schools) di Amerika Serikat (AS) diarahkan untuk menjadi professional school tempat mendidik ahli hukum. Jadi para mahasiswa di perguruan tinggi selain mempelajari dasar pengetahuan akademis tentang hukum secara global, juga dibekali keterampilan professional yang diperlukan dalam professi hukum. Pendidikan professional secara keseluruhan meliputi: (1), menguasai dasar pengetahuan akademis tentang hukum secara global. (2), menguasai keterampilan yang diperlukan dalam professi hukum. (3), memiliki etika profesi (professional ethics) dan tanggung jawab professi (professional rensponsibility). (4), perubahan sikap seseorang terhadap masalah (attitudinal problem) dan menanamkan suatu “problem solving attitude”.

PENUTUP

Pendidikan hukum untuk mampu memenuhi kebutuhan masyarakat. Hal ini, dapat dilakukan melalui dua pokok pemikiran yaitu: pertama dengan cara mempertahankan dan mengembangkan pendidikan hukum dibidang propessi hukum, dan kedua melalui pemberdayaan kewirausahaan ke arah kemandirian melalui penyajian mata kuliah sebagai faktor pendukungnya.
Dalam sistim sosial yang demokratik yang ditopang oleh prinsip supremasi hukum, tidak ada yang meragukan pendidikan hukum adalah sumber pembangunan dan penegakkan hukum, baik dalam mewujudkan sumber daya manusia ahli hukum maupun berbagai pemikiran hukum yang dapat diandalkan dalam pembentukan hukum, penyempurnaan hukum, dan penyelenggaraan hukum.
       Untuk mencapai peran tersebut perlu peninjauan keadaan internal pendidikan hukum yang memungkinkan atau tidak memungkinkan pelaksanaan peran tersebut. Inilah tujuan uraian di atas yaitu sekedar meminta perhatian mengenai persoalan-persoalan yang dihadapi pendidikan hukum yang akan menghambat atau tidak memungkinkan pendidikan hukum dapat menjalankan peran yang diharapkan atau yang semestinya itu.

DAFTAR PUSTAKA

E. Bodenheimer, Jurisprudence, the Philoshophy and Method of the Law, Cambridge Mass: Harvard University Press, 1974.
Sunaryati Hartono, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Republik Indonesia; Binacipta Bandung 1988
Kusumaatmadja Mochtar, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan, Alumni, Bandung, 2002
Rahardjo Satjipto, Ilmu Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar