Selasa, 12 Juli 2016

Yuridiksi Negara dalam Hukum Internasional



BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Setiap negara berdaulat yang telah diakui pasti memiliki yurisdiksi untuk menunjukkan kewibawaannya pada rakyatnya atau pada masyarakat internasional. Diakui secara universal baik setiap negara memiliki kewenangan untuk mengatur tindakan-tindakan dalam teritorinya sendiri dan tindakan lainnya yang dapat merugikan kepentingan yang harus dilindunginya.
Dalam kaitannya dengan prinsip dasar kedaulatan negara, suatu negara yang berdaulat menjalankan yurisdiksi/kewenangannnya dalam wilayah negara itu. Berdasarkan kedaulatannya itu, maka dapat diturunkan hak, kekuasaan, atau kewenangan negara untuk mengatur masalah intern dan ekstern. Dengan kata lain dari kedaulatannya itulah diturunkan atau lahir yurisdiksi negara. Dengan hak, kekuasaan, atau dengan yurisdiksi tersebut suatu negara mengatur secara lebih rinci dan jelas masalah-masalah yang dihadapinya sehingga terwujud apa yang menjadi tujuan negara itu.
Adakalanya yurisdiksi itu harus tunduk kepada pembatasan tertentu yang ditetapkan oleh hukum internasional. Dalam hal ini yang dimaksud adalah “hak- hak istimewa ekstrateritorial”, yakni suatu istilah yang dipakai untuk melukiskan suatu keadaan dimana status seseorang atau benda yang secara fisik terdapat di dalam suatu wilayah negara, tetapi seluruhnya atau sebagian dikeluarkan dari yurisdiksi negara tersebut oleh ketentuan hukum internasional.
Yurisdiksi Negara dalam hukum internasional jelas berperan sangat penting dalam tiap-tiap Negara, dengan demikian tiap Negara berwenang untuk menetapkan ketentuan-ketentuan hukum nasionalnya terhadap suatu peristiwa, kekayaan dan perbuatan apapun yang terjadi di wilayah atau teritorialnya.




1.2 Rumusan masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Apa istilah dan pengertian yuridiksi dalam HI?
2. Apa saja prinsip-prinsip yuridksi  dalam HI?
3. Bagaimana penerapan yuridiksi ekstrateritorial dalam HI?
4. Bagaimana kerja sama antar negara dalam penerapan yuridiksi?

1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah agar dapat mengetahui :
1. Istilah dan pengertian yuridiksi dalam HI
2. Prinsip-prinsip yuridksi  dalam HI
3. Penerapan yuridiksi ekstrateritorial dalam HI
4. Kerja sama antar negara dalam penerapan yuridiksi










BAB II
PEMBAHASAN
A. Istilah dan Pengertian Yuridiksi dalam HI
Kata Yurisdiksi (jurisdiction) berasal dari kata yurisdictio. Kata Yurisdictio berasal dari dua kata yaitu Yuris dan Dictio. Yuris berarti kepunyaan hukum atau kepunyaan menurut hukum. adapun dictio berarti ucapan, sabda atau sebutan. Dengan demikian dilihat dari asal katanya nampak bahwa yurisdiksi berkaitan dengan masalah hukum, kepunyaan menurut hukum atau kewenangan menurut hukum.
            Menurut Wayan Parthiana, kata yurisdiksi berarti kekuasaan atau kewenangan yang dimiliki suatu badan peradilan atau badan-badan lainnya yang berdasarkan atas hukum yang berlaku. Bila yurisdiksi dikaitkan dengan negara maka akan berarti kekuasaan atau kewenangan negara untuk menetapkan dan memaksakan (to declare and to enforce) hukum yang dibuat oleh negara atau bangsa itu sendiri.
            Imre Anthony Csabafi dalam bukunya The Consept of State Yurisdiction in International Space Law mengemukakan bahwa yurisdiksi negara dalam hukum internasional berarti hak dari suatu negara untuk mengatur atau mempengaruhi dengan langkah-langkah atau tindakan yang bersifat legislatif, eksekutif atau yudikatif atas hak-hak individu, milik atau harta kekayaannya, perilaku-perilaku atau peristiwa-peristiwa yang tidak semata-mata merupakan masalah dalam negeri.
            Dalam bahasa yang lebih sederhana Shaw mengemukakan bahwa yurisdiksi adalah kompetensi atau kekuasaan hukum negara terhadap orang, benda dan peristiwa hukum. yurisdiksi ini merupakan refleksi dari prinsip dasar kedaulatan negara, persamaan derajat negara dan prinsip non intervensi.
            Ada tiga macam yurisdiksi yang dimiliki oleh negara yang berdaulat menurut john O’Brien , yaitu:
1.      Kewenangan negara untuk membuat ketentuan-ketentuan hukum terhadap orang, benda, peristiwa maupun perbuatan di wilayah teritorialnya (legislative jurisdiction or prescriptive jurisdiction).
2.      Kewenangan negara untuk melaksanakan berlakunya ketentuan-ketentuan hukum nasionalnya (executive jurisdiction or enforcement jurisdiction).
3.      Kewenangan pengadilan negara untuk mengadili dan memberikan putusan hukum (yudicial jurisdiction).
                        Menurut Akehurst, khususnya membedakan antara yang kedua dengan yang          ketiga. Enforcement jurisdiction menurut Akehurst merupakan power of physical interference exercised by the executive. Contoh enforcement jurisdiction adalah menangkap seseorang, menyita harta kekayaan dan lain-lain. Adapun contoh judicial enforcement adalah persidangan yang dilakukan pengadilan suatu negara berkaitan dengan orang, benda maupun peristiwa tertentu.
                        Bila Akehurst menekankan perbedaan enforcement jurisdiction. Beberapa penulis lain seperti Martin Dixon dan Tien Saefullah menggabungkan keduanya dalam enforcement jurisdiction. Dengan demikian, menurut mereka kewenangan negara untuk menetapkan ketentuan-ketentuan hukum dikenal sebagai jurisdiction to prescibe, adapun kewenangan untuk menegakkan atau menerapkan ketentuan hukum nasionalnya terhadap peristiwa, kekayaan dan perbuatan dikenal sebagai jurisdiction to enforce.
                        Adapun berkaitan dengan jurisdiction to enforce negara tidak dapat secara otomatis memaksakan ketentuan hukum yang telah dirumuskan di luar wilayah negaranya. Hal ini dikarenakan oleh adanya prinsip par in parem non habet imperium yang melarang suatu negara yang berdaulat melakukan tindakan kedaulatan di dalam wilayah negara lain. Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa bila negara mempunyai kekuasaan penuh di bawah hukum internasional to prescribe jurisdiction, namun pelaksanaan presriptive jurisdiction tersebut terbatas hanya pada wilayah teritorialnya saja.
                        Penerapan yurisdiksi menjadi masalah hukum internasional bila dalam suatu kasus ditemukan unsur asing. Misalnya kewarganegaraan pelaku dan/korban  yang warga negara asing, atau tempat perbuatan atau peristiwa terjadi di luar negeri.
                        Berdasarkan objeknya (hal, masalah, peristiwa, orang dan benda), yurisdiksi negara dibedakan menjadi yurisdiksi personal, yurisdiksi kebendaan, yurisdiksi kriminal, yurisdiksi perdata, dan yurisdiksi eksklusif. Adapun berkaitan dengan ruang atau tempat objek atau masalah yang bukan semata-mata masalah domestik maka yurisdiksi negara dapat dibedakan menjadi yurisdiksi teritorial, quasi teritorial, ekstrateritorial, universal dan eksklusif.

B. PRINSIP-PRINSIP YURISDIKSI DALAM HI
Secara garis besar yurisdiksi pengadilan (judicial jurisdiction) mencakup perdata dan pidana. Yurisdiksi perdata adalah kewenangan hukum pengadilan suatu negara terhadap perkara-perkara yang menyangkut keperdataan baik yang sifatnya perdata biasa (nasional), maupun yang bersifat perdata internasional dimana ada unsur-unsur asing dalam kasus tersebut baik menyangkut para pihak objek yang disengketakan maupun tempat perbuatan dilakukan. Adapun yurisdiksi pidana adalah kewenangan hukum pengadilan suatu negara terhadap perkara-perkara yang menyangkut kepidanaan baik muni nasional maupun yang terdapat unsur asing didalamnya.
1. Prinsip Yurisdiksi Teritorial
Menurut prinsip ini setiap negara memiliki yurisdiksi terhadap kejahatan yang dilakukan di dalam wilayah atau teritorialnya. Hakum Loed Macmillan, suatu negara harus memiliki yurisdiksi terhadap semua orang, benda dan perkara-perkara perdata dan pidana dalam batas-batas teritorialnya sebagai pertanda negara tersebut berdaulat. Pengadilan negara dimana suatu kejahatan dilakukan memiliki yurisdiksi terkuat dengan pertimbangan :
a)      Negara dimana kejahatan dilakukan adalah negara yang ketertiban sosialnya paling terganggu.
b)      Biasanya pelaku ditemukan di negara di mana kejahatan dilakukan.
c)      Akan lebih mudah menemukan saksi dan bukti-bukti sehingga proses persidangan dapat lebih efisien dan efektif
d)     Seorang WNA yang datang ke wilayah suatu negara dianggap menyerahkan diri pada sistem HN negara tersebut, sehingga ketika ia melakukan pelanggaran HN di negara yang ia datangi maka ia harus tunduk pada hukum setempat meskipun mungkin apa yang ia lakukan sah (lawful) menurut sistem HN negaranya sendiri.
Meskipun penting, kuat dan pupuler, penerapan yurisdiksi teritorialnya tidaklah absolut. Ada beberapa perkecualian yang diatur dalam HI di mana negara tidak dapat menerapkan yurisdiksi teritorialnya meskipun suatu peristiwa terjadi di wilayahnya. Beberapa perkecualian yang dimaksud adalah sebagai berikut.
a.       Terhadap pejabat diplomatik negara asing
Berdasarkan hukum diplomatik, pejabat-pejabat diplomatik memiliki imunitas dari HN negara di mana mereka ditempatkan dengan landasan teori fungsional yaitu supaya mereka dapat mmenjalankan fungsi diplomasi mereka dengan lebih baik.
b.      Terhadap negara dan kepala negara asing
Atas dasar prinsip par im parem non habet imperium maka negara asing memiliki imunitas di depan pengadilan internasional. Negara dibedakan menjadi jure imperii dan jure gestionis. Negara dipandang imun hanya ketika tindakan yang dilakukan termasuk dalam jure imperii. Adapun bila tindakannya masuk kategori jure gestionis, berkaitan dengan masalah komersial, maka negara tidak lagi imun.
c.       Terhadap kapal publik negara asing
Berdasarkan floating island theory maka kapal perang dan kapal pemerintah asing yang sifatnya non komersial dipandang sebagai wilayah ekstrateritorial dari negara bendera, sehingga dua jenis kapal ini memiliki imunitas dari yurisdiksi negara pantai di mana pun posisi kapal.
d.      Terhadap organisasi Internasional
Sama seperti perwakilan diplomatik asing, organisasi internasional memiliki imunitas dari yurisdiksi negara host state. Organisasi internasional memiliki imunitas di wilayah-wilayah negara anggotanya.
e.       Terhadap pangkalan militer negara asing
Pangkalan militer asing merupakan wilayah ekstra teritorial sehingga diperkecualikan dari yurisdiksi negara dimana pangkalan tersebut terletak. Besar kecilnya imunitas yang ia miliki tergantung pada perjanjian yang dibuat antara kedua belah pihak.
Berdasarkan teknisnya prinsip teritorial dibedakan menjadi dua yakni prinsip teritorial subjektif dan objektif. Berdasarkan prinsip nasionalitas dikenal prinsip nasionalitas pasif dan aktif. Selanjutnya berdasarkan kepentingan yang dilanggar akan dikenal prinsip perlindungan dan prinsip universal.

1.      Prinsip Teritorial Subjektif
Berdasarkan prinsip ini negara memiliki yurisdiksi terhadap seseorang yang melakukan kejahatan yang dimulai dari wilayahnya, tetapi diakhiri atau menimbulkan kerugian di negara lain.
2.      Prinsip Teritorial Objektif
Berdasarkan prinsip ini suatu negara memiliki yurisdiksi terhadap seseorang yang melakukan kejahatan yang menimbulkan kerugian di wilayahnya meskipun perbuatan itu dimulai dari negara lain.
3.      Prinsip Nasionalitas Aktif
Berdasarkan prinsip ini negara memiliki yurisdiksi terhadap warganya yang melakukan kejahatan di luar negeri. Indonesia memiliki yurisdiksi untuk mengadili TKI yang membunuh majikannya di Arab Saudi atas dasar prinsip ini.
4.      Prinsip Nasionalitas Pasif
Berdasarkan prinsip ini negara memiliki yurisdiksi terhadap warganya yang menjadi korban kejahatan yang dilakukan orang asing di luar negeri. Dengan prinsip ini maka Indonesia akan memiliki yurisdiksi berdasarkan prinsip nasionalitas pasif terhadap Philip (Warga Filipina) yang membunuh Soni (WN Indonesia) di Thailand.
6.  Prinsip Universal
Berdasarkan prinsip ini setiap negara memiliki yurisdiksi untuk mengadili pelaku internasional yang dilakukan di mana pun tanpa memperhatikan kebangsaan pelaku maupun korban. Alasan munculnya prinsip universal adalah bahwa pelaku dianggap orang yang sangat kejam, musuh seluruh umat manusia, jangan sampai ada tempat untuk meloloskan diri dari hukuman, sehingga tuntutan yang dilakukan oleh suatu negara terhadap pelaku adalah atas nama seluruh masyarakat internasional.
Yurisdiksi universal menurut amnesti internasional adalah yurisdiksi dimana pengadilan nasional dimanapun dapat menginvestigasi, menuntut seseorang yang dituduh melakukan kejahatan internasional crime tanpa memperhatikan nasionalisme pelaku, korban maupun hubungan lain dengan negara dimana pengadilan itu berada.
Tujuan dari yurisdiksi universal adalah untuk merespons fenomena pengampunan (impunity) bagi orang-orang terentu. Pelaku serious international crime dibawah hukum internasional yang menikmati impunity bebas bepergian ke suatu tempat yang yang diinginkannya setelah ia melakukan serious international crime tanpa bisa dimintai pertanggung jawaban bahkan hanya untuk sekedar diinvestigasi. Keberadaan yurisdiksi universal tidak terlepas dari pro dan kontra, bagi para penentangnnya yurisdiksi ini dapat merupakan pelanggaran terhadap prinsip kedaulatan negara dalam hukum initernasional. Disamping itu dalam praktiknya dapat disalah gunakan untuk tujuan kepentingan politik. Sedangkan bagi para pendukungnnya yurisdikdi ini justru sangat diperlukan untuk mendorong masyarakata internasional dan pengadilan domestik untuk mengakhiri praktik impunity. Argumen pelanggaran kedaulatan negara karenanya tidak dapat diterima sebagai alasan untuk membiarkan pelaku lepas dari tanggung jawab hukum mereka.
Yurisdiksi universal adalah yurisdiksi yang bersifat unik dengan beberapa ciri yang menonjol yaitu :
a.       Setiap negara berhak untuk melaksanakan yurisdiksi universal. Frase “setiap negara” mengarah hanya pada negara yang merasa bertanggung jawab untuk turut serta secara aktif menyelamatkan masyarakat internasional dari bahaya yang ditimbulkan  oleh serious crime, sehingga merasa wajib untuk menghukum pelakunya. Rasa bertanggung jawab tersebut harus dibuktikan dengan tidak adanya niat untuk melindungi pelaku dengan memberiikan safe heaven dalam wilayah negaranya.
b.      Setiap negara yang ingin melaksanakan yurisdiksi universal tidak perlu mempertimbangkan siapa dan berkewarganegaraan apa pelaku juga korban dan dimana serious crime dilakukan. Satu-satunya pertimbangan yang diperlukan adalaha apakah pelaku berada di wilayahnya  atau tidak. Tidak mungkin suatu negara bisa melakukan yurisdiksi universal bila pelaku tidak berada diwilayahnya. akan merupakan pelanggaran hukum internasional bila negara memaksa menangkap seseoramg yang berada di wilyah negara lain.
c.       Setiap negara hanya dapat melaksanakan yurisdiksi universal terhadap pelaku serious crime yang lazim disebut international crime.
Berdasrkan karakteristik diatas dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya  yurisdiksi yang berpotensi untuk mengisi kekosongan hukum dalam pelaksanaan yurisdiksi terhadap tindak-tindak pidana internasional. Hakikat yurisdiksi universal berbeda dengan yurisdiksi yang lain karena tidak memerlukan titik peraturan antara negara yang melaksanakan yurisdiksi dengan pelaku, korban, dan tindak pidana itu sendiri. Kekosongan hukum dapat diatasi dengan diberikannya wewenang oleh hukum internasional kepada setiap negara untuk melaksanakan yurisdiksi universal.
Dengan demikian, untuk menjadi international crime harus memenuhi bebrapa syarat yaitu :
a.       Perbuatan itu diakui secara universal sebagai tindak pidana, sudah dirumuskan sebagai tindak pidana dalam semua sistem hukum pidana di semua negara. Semua negara mengutuk perbuatan itu dan menentkan hukumannya yang layak.
b.      Tindak pidana itu harus memenuhi kriteria tertentu sebagai international crime, yaitu bahwa pelakunya merupakan musuh  umat manusia dan tindakannya bertentangan dengan kepentigan umat manusia sehingga penegakan hukum inernasional harus dilakukan, dengan melalui hukum kebiasaan internasional maupun perjanjian internasional dengan menghukum pelakunya.
c.       Karena sifat yang membahayakan masyarakat internasioanal maka sangat beralasan untuk tidak hanya memberikan yurisdiksi pada satu negara saja yang jika dalam keadaan normal memang berhak untuk melaksanakannya.
Hukum internasional klasik menyebutkan kejahatan perang dan piracy sebagai kejahatan internasional yang kepadanya dapat diterapkan yurisdiksi universal. Pasal 404 Restatement ( third ) of the Foreign Relations Law of  United States menyebutkan yurisdiksi universal diberlakukan terhadap piracy, perdagangan budak, attack or hijacking of aircraft, genocide, war crimes, dan terroism. ICTY memasukan pelanggaran berat konvensi jenewa 1949, pelanggaran hukum atau kebiasaan perang, genocide, dan kejahatan kemanusiaan sebagai kejahatan inetrnasional yang memerlukan yurisdiksi universal. Yurisdiksi ICTR mencakup genocide, kejahatan kemanusiaan, pelanggaran pasal 3 bersama konvesi geneva dan protokol tambahan II 1977. Adapaun Statuta ICC meneyebutkan genocida, war crime, kejahatan kemanusiaan dan kejahatan agresi sebagai agresinya.
Masalah yang kedua mengenai dasar hukum mengadili negara penuntut merupakan masalah hubungan HI-HN. Berdasarkan teori dualisme HI harus ditransformasikan dulu dalam HN. Adapun menurut teori monisme HI dan HnNmerupakan satu bagian sehingga tidak memerluka transformasi, menurut Amnesti Internasional saat ini sekitar 120 Negara menetapkan war crime, crime against humanity, genocide dan torture sebagai kejahatan internasional yang dapat diberlakukan yurisdiksi universal. Masalah yang terjadi sebenarnya menurut Amnesti Internasional adalah kurangnya kemauan politik untuk menuntut pelaku pelanggaran kejahatn internasional tersebut daripada masalah ketiadaan legislasi nasional yang tepat. Pasca perang dunia kedua beberapa negara yang telah menetapkan yurisdiksi universal dalam undang-undang nasionalnya anatara lain Austria, Belgium, Bolivia, Brazil, Canada, Chile, Colombia, Costa Rica, Denmark, Ecuador, El Salvador, France, Germany, Guatemala, Honduras, Mexico, Nicaragua, Norway, Panama, Peru, Spain,Switzerland, Uruguay, and Venezuela.
Masalah ketiga, menyangkut kehadiran pelaku di wilayah negara penuntut. Hukum nasional Belgia ( 1993 dan 1999 ) juga Spanyol (pasal 23 the Law of Judicial Power 1985) memungkinkan peradilan in absentia terhadap pelaku kejahatan yang ditundukan pada rezim yurisdiksi universal.
Menyangkut peradilan in absentia, Amensti Internasional dalam prinsio ke-9nya mengharuskan negara-negara dalam undang-undang nasionalnya menjamin untuk tidak mengizinkan dilaksanakannya peradilan in absentia. Hal ini demi terwujudnya peradilan yang fair yang merupakana hak terdakwa sebagaimana diakui dalamm berbagai instrumen internasional.
Hakim Higgins, Koojmans, dan Buerenthal dalam joint separate opinion mereka menyatakan bahwa “  the exercise of universal jurisdiction in absentia must be equipped with certain safeguards in place to prevent misuse and to ensure that the rejection of imounity does not joepardize stable relations between states.” Ringkasan safeguard yang dimaksud oleh ketiga hakim tersebut adalah :
a.       Menghormati inviolability dan imunitas dari terdakwa;
b.      Negara yang kan melaksanakan yurisdiksi universal harus terlebih dahulu menawarkan pada negara lain yang memiliki yurisdiksi terhadap terdakwa;
c.       Tuduhan hanya dapat dibuat oleh prosecutor yang independent  sepenuhnya;
d.      Keseimbangan antara imunity dan memajukan hubungan baik antarnegara;
e.       Yurisdiksi universal hanya dapat dilakukan terhadap kejahatan yang dianggap sebagai the most heinous oleh masyarakat internasional.
7. Prinsip Perlindungan
Berdasarkan prinsip ini negara memiliki yurisdiksi terhadap orang asing yang melakukan kejahatan yang sangat serius yang mengancam kepentingan vital negara, keamanan, integritas dan kedaulatan, serta kepentingan vital ekonomi negara. Beberpa contoh kejahatan yang masuk yurisdiksi perlindungan antara lain spying, plots to overtrow the goverment, forging currency, immigration and economic violation.
Meskipun dipraktikkan dibeberapa HN negara seperti Prancis, Inggris, dan termasuk Indonesia, namun prinsip ini terkadang dipandang sangat berbahaya karena dapat diinterprestasikan dengan sangat luas oleh suatu negara untuk mengadili seseorang atas dasar perlindungan bagi negarannya.
C. Penerapan Yurisdiksi Ekstrateritorial
Hukum internasional memang tidak mengatur secara detail pembatasan-pembatasan yurisdiksi satu negara, kecuali apa yang telah dikenalkan dalam prinsip-prinsip yurisdiksi hukum internasional, misalnya bahwa suatu negara tidak akan menjalankan yurisdiksinya terhadap orang, benda atau perbuatan yang tidak ada sangkut paut dengan negaranya. Namun demikian, seandainya suatu negara B melanggar hukum internasional maka negara A harus membuktikan dimana letak pelanggaran yang telah di lakukan negara B.
Maka dari itu sering muncul pertanyaan apakah suatu negara bisa menerapkan yurisdiksi extrateritorial-nya terhadap subjek hukum asing yang melakukan perbuatan di luar wilayah negara tersebut. Yurisdiksi ekstrateritorial digunakan beberapa negara berlandaskan kepentingan nasional, khususnya kepentingan bisnis mereka.
Yurisdiksi ekstrateritorial mengundang kontroversial khususnya dari sudut pandang yurisdiksi teritorial karena tidak ada direct and immediate link between the initiation and completion of the act sebagaimana ditemukan dalam kasus Lotus yang menerapkan yurisdiksi teritorial sebagai subjek.
Contoh kasus penggunaan yurisdiksi ekstrateritorial antara lain dalam kasus American Banana Co. Dalam kasus ini penggugat adalah warga negara AS, pemilik perkebunan pisang di Costarica, sedangkan tergugat adalah pemilik United Fruit Co. Tuntutan yang diajukan adalah bahwa tergugat telah melanggar Sherman Act dengan cara membujuk pemerintah Costarica untuk merampas tanah milik perkebuana Banana Co. Mahkamah agung memustukan AS bahwa Sherman Act tidak dapat diterapkan terhadap United Fruit Co atas kegiatan yang dilakukan diluar negeri bila kegiatan tersebut tidak melanggar hukum Costarica. Pelanggaran terhadap hukum AS diluar negeri tidak dapat dijadikan dasar tuntutan di pengadilan AS apabila tindakan tersebut tidak bertentangan dengan hukum nasional dimana perbuatan itu dilakukan.
Dalam kasus Alcoa 1945, pemerintah AS telah menggugat perusahaan Alcoa dan alumunium Ltd berdasarkan Sherman Act dimana tergugat dituduh telah bersekongkol dengan berbagai perusahaan asing (Swiss,Jerman,Inggris) untuk menghambat perdagangan domestik maupun luar negeri AS dalam hal produksi dan penjualan alumuniaum. Perkara ini sudah menjadikan preseden yurisdiksi ekstrateritorial yang sangat populer. Pengadilan banding AS dalam putusannya menetapakan bahwa kongres tidak dapat menerapkan Sherman Act apabila :
a.       Tidak ada maksud untuk menimbulkan akibat terhadap perdangangan AS;
b.      Tidak mempunyai akibat terhadap perdangangan AS;
Apabila kedua syarat tersebut terpenuhi maka Sherman Act dapat diterapkan sekalipun kegiatannya dilakukan di luar AS.
Selain AS, penerapan yurisdikisi ekstrateritorial juga diterapkan oleh pengadilan Eropa (ECJ) berkaitan dengan penerapan EC competition law dalam kasus Wood Pulp. Dalam kasus ini muncul kontroversi seputar dua hal menyangkut yurisdiksi ECJ dan subtansi tuntutan. Dalam kasus ini pengadilan menetapkan bahwa lebih dari 42 supplier of wwod pulp melanggar European Community Competition Law. Perusahaaan-perusahaan tersebut 11 perusahaan AS, 6 Canada, 11 Swedia, 11 Finlandia, 1 Norwegia, 1 Spanyol, dan 1 Portugal. Perusahaan-perusahaan Non EC ini menjual barang mereka ke Eropa lewat berbagai cara seperti agen, cabang, dan anak perusahaan yang berada di Eropa.
Pelaksanaan yurisdiksi Ekstrateriotial sering menimbulkan banyak masalah. Investasi cabang perusahaan yanga ada di luar negeri misalnya, akan memerlukan kerja sama dari otoritas yang berwenang demikian halnya dengan enforcement jurisdiction putusan pengadilan. Negara lain tidak memiliki kewajiban untuk membantu atau berkerja sama dengan otoritas asing berkaitan dengan pengakuan dan pelaksanaan putusan asing tersebut.
D. kerja sama antar negara dalam penerapan yuridiksi.
Kedaulatan negara hanya dapat dilaksanakan di wilayah atau teritorialnya dan akan berakhir ketika sudah dimulai wilayah atau territorial negara lain. Meskipun suatu negara memiliki judicial jurisdiction atau kewenangan untuk mengadili seseorang berdasarkan prinsip-prinsip yuridiksi dalam hukum internasional, namun tidak begitu saja negara dapat melaksanakanya ketika orang tersebut sudah melarikan diri ke negara lain. Demikian pula berlaku terhadap seorang terpidana yang berhasil kabur dari tahanan, negara tidak bisa langsung menangkapnya lagi ketika si terpidana berhasil kabur keluar negeri. Untuk itulah dalam tata krama pergaulan internasional dibutuhkan permohonan ekstradisi dari resquesting state kepada requested state. Dengan demikian, keterbatasan kedaulatan teritorial bisa dijembatani melalui kerja sama dengan negara lainnya untuk proses penegakan hukumnya. Keberhasilan kerja sama penegakan hukum tersebut pada umumnya tidak akan menjadi kenyataan jika tidak ada perjanjian bilateral atau multilateral dalam penyerahan pelaku kejahatan atau dalam kerjasama penyidikan, penuntutan dan peradilan. Prasyarat perjanjian tersebut tidak bersifat mutlak karena tanpa ada perjanjian itupun kerja sama penegakan hukum dapat dilaksankan berlandaskan asas resiprositas (timbal balik).
Kerja sama penerapan yurisdiksi atau penegakan hukum yang tertua adalah ekstradisi kemudian diikuti kerja sama penegakan hukum lainnya seperti dengan “mutual assistance in criminal matters”, atau “mutual legal assistance treaty” (MLAT’s); “transfer of sentenced person (TSP); “transfer of criminal proceedings” (TCP), dan “joint investigation” serta“handing over.
Pemerintah Indonesia telah memiliki undang-undang paying untuk ekstradisi dengan undang-undang nomor 1 tahun 1979 tentang ekstradisi, dan untuk kerjasama penyidikan dan penuntutan, termasuk pembekuan dan penyitaan asset dengan undang-undang nomor 1 tahun 2006 tentang bantuan timbal balik dalam masalah pidana. Perbedaan kedua bentuk perjanjian kerja sama penegakan hukum tersebut adalah bahwa perjanjian ekstradisi untuk tujuan penyerahan orang (pelaku kejahatan), sedangkan perjanjian MLTA’s untuk tujuan perbantuan dalam proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang peradilan pidana termasuk pengusutan, penyitaan dan pengembalian asset kejahatan (ekstradisi) tidak serta merta merupakan pengembalian aset hasil kejahatan yang dibawa pelaku kejahatan yang bersangkutan. Ekstradisi menurut pasal 1 UU 1/1979 tentang ekstradisi adalah penyerahan oleh suatu negara kepada yang meminta penyerahan seseorang yang disangka atau dipidana karena melakukan suatu tindak pidana di luar wilayah yang menyerahkan dan di dalam yuridiksi wilayah negara yang meminta penyerahan tersebut.
Sebenarnya permohonan ekstradisi tidak harus melalui suatu perjanjian baik bilateral maupun multilateral sebelumnya. Hubungan baik juga etikad baik kedua negara jauh lebih penting dari keberadaan suatu perjanjian ekstradisi. Meskipun belum memiliki perjanjian ekstradisi, Indonesia bersedia menyerahkan Abu Qusay, seorang warga negara India tersangka pelaku human trafficking dan people smuggling pada mesir, beberapa pertimbangan yang menyertai penyerahan Abu Qusay antara lain hubungan yang sangat baik antara Indonesia dengan mesir, belum tersedianya aturan hukum untuk mengadili pelaku human trafficking dan people smuggling di Indonesia sehingga kalau tidak diserahkan pada negara lain yang juga berhak mengadili dikhawatirkan si pelaku akan bebas dari hukuman. Sebaliknya meskipun telah memiliki perjanjian ekstradisi dengan Australia. Indonesia tetap memperoleh hambatan ketika meminta negara kangguru ini menyerahkan Hendra Raharja, bos Bank Harapan Sentosa yang merugikan negara miliaran rupiah dengan alasan bahwa yang bersangkutan sedang sakit dan memerlukan perawatan lebih dahulu.
Namun demikian, tidaklah berarti bahwa perjanjian ekstradisi tidak diperlukan. Dengan adanya perjanjian ekstradisi permohonan dari resquesting state akan memperoleh landasan hukum yang lebih kuat daripada bila antara kedua negara resquesting state dan resquested state belum memiliki perjanjian ekstradisi.
Sampai saat ini Indonesia telah membuat beberapa perjanjian ekstradisi yaitu pada tahun 1974 dengan Malaysia, tahun 1976 dengan Filipina, tahun 1978 dengan Thailand, tahun 1992 dengan Australia, tahun 1997 dengan hongkong dan korea, dengan singapura tahun 2007 (belum diratifikasi oleh kedua negara). Bagi Indonesia perjanjian ekstradisi dengan singapura sangatlah penting mengingat banyaknya buronan khususnya koruptor dari Indonesia yang lari dan bersembunyi di negara tersebut beserta harta jarahan mereka yang mereka bawa dari Indonesia untuk diinvestasikan di singapura.
Selain melalui mekanisme perjanjian, dalam praktik negara-negara dikenal yang namanya ekstradisi atau penyerahan dibawah tangan yaitu penyerahan berdasarkan kerja sama kepolisian negara-negara yang bersangkutan ataupun organization (ICPO/INTERPOL). Dengan cara ini dalam tempo singkat, biaya ringan, dan tidak birokratis ekstradisi mudah dilakukan. Terkait dengan ekstradisi dewasa ini negara-negara lazim menggunakan perjanjian bilateral transfer of sentenced person (TSP) dan mutual legal assistance (MLA). Perjanjian TSP digunakan untuk mentransfer seorang terpidana yang telah menjalani sekian lama masa hukumannya di negara yang diminta untuk menjalani sisa hukumanya di negara yang meminta. Adapun perjanjian MLA pada dasarnya merupakan suatu mekanisme formal dimana suatu negara dapat meminta negara lain untuk memberikan bantuan guna suatu penyidikan, penuntutan, pengadilan suatu perkara pidana. MLA lazimnya meliputi bantuan untuk menyampaikan barang bukti, pemeriksaan saksi, penggeledahan penyitaan, dan pengambilan barang atau harta hasil kejahatan. Saat ini Indonesia telah menandatangani perjanjian MLA dengan RRC Juli 2000. Disamping dengan Cina Indonesia juga telah memiliki perjanjian MLA dengan Australia dan korea ditingkat regional, Indonesia dan singapura juga telah menandatangani MLA untuk kawasan ASEAN.
Perjanjian ekstradisi tumbuh dari praktik negara-negara yang kemudian menjadi hukum kebiasaan internasional. Pada umumnya perjanjian-perjanjian ekstradisi akan memuat prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. prinsip kejahatan ganda
2. prinsip kekhsusan/spesialitas
3. prinsip tidak menyerahkan pelaku kejahatan politik
4. prinsip tidak menyerahkan WN sendiri
5.prinsip Ne bis in idem
6. prinsip kedaluwarsa
Prinsip-prinsip di atas sudah terwadahi dalam instrument hukum nasional yaitu UU No 1/1979 tentang ekstradisi. Di samping hukum nasional yang bersumberkan pada hukum internasional, saat ini PBB juga sudah mengeluarkan instrument khusus yang menjadi panduan dalam pembuatan perjanjian ekstradisi yaitu Model Treaty on Extradition. Model ini bisa diterapkan baik dalam perjanjian bilateral maupun internasional. UN model on extradition tahun 1990, selain memuat prosedur permintaan, penolakan dan persetujuan permintaan negara peminta untuk menyerahkan pelakunya, juga memasukkan ketentuan mengenai surrender of property (pasal 13). Pasal 13 memungkinkan negara diminta seketika perjanjian ekstradisi dipenuhi, maka menyerahan juga property yang berasal dari kejahatan untuk mana pelakunya di ekstradisi. Model PBB untuk ekstradisi ini lebih ekstrim lagi dimana sekalipun ekstradisi tidak dapat dilaksanakan property dari hasil lain kejahatan tersebut dapat dikembalikan atau untuk sementara dilakukan handing over atas property tersebut.
Dalam kaitannya dengan korupsi, untuk menunjukkan keseriusannya memerangi korupsi di Indonesia, pemerintah sudah meratifikasi united nation convention against corruption melalui UU nomor 7 tahun 2006. Arti penting ratifikasi UNCAC bagi Indonesia:
1. meningkatkan kerjasama internasional khususnya dalam melacak, membekukan menyita, dan mengembalikan asset-aset hasil korupsi yang ditempatkan di luar negeri.
2. meningkatkan kerja sama internasional dalam mewujudkan tata pemerintahan yang baik.
3. meningkatkan kerja sama internasional dalam pelaksanaan perjanjian ekstradisi, bantuan hukum timbale balik, penyerahan narapidana, pengalihan proses pidana, dan kerja sama penengakan hukum.
4. mendorong terjalinnya kerja sama teknik dan pertukaran informasi dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di bawah paying kerja sama pembangunan ekonomi dan bantuan teknis pada lingkup bilateral, regional dan multilateral.
5. Harmonisasi peraturan perundang-undangan nasional dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi sesuai dengan konvensi ini.



BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Yurisdiksi negara dalam hukum internasional berarti hak dari suatu negara untuk mengatur atau mempengaruhi dengan langkah-langkah atau tindakan yang bersifat legislatif, eksekutif atau yudikatif atas hak-hak individu, milik atau harta kekayaannya, perilaku-perilaku atau peristiwa-peristiwa yang tidak semata-mata merupakan masalah dalam negeri. Berdasarkan objeknya  yurisdiksi negara dibedakan menjadi yurisdiksi personal, yurisdiksi kebendaan, yurisdiksi kriminal, yurisdiksi perdata, dan yurisdiksi eksklusif. Adapun berkaitan dengan ruang atau tempat objek atau masalah yang bukan semata-mata masalah domestik maka yurisdiksi negara dapat dibedakan menjadi yurisdiksi teritorial, quasi teritorial, ekstrateritorial, universal dan eksklusif.
Secara garis besar yurisdiksi pengadilan (judicial jurisdiction) mencakup perdata dan pidana. Adapun Prinsip-prinsip  yuridiksi dalam HI yaitu: Prinsip Yurisdiksi Teritorial, Prinsip Teritorial Objektif, Prinsip Nasionalitas Aktif, Prinsip Nasionalitas Pasif, Prinsip Universal, Prinsip Perlindungan.
Yurisdiksi ekstrateritorial digunakan beberapa negara berlandaskan kepentingan nasional, khususnya kepentingan bisnis mereka. Yurisdiksi ekstrateritorial mengundang kontroversial khususnya dari sudut pandang yurisdiksi teritorial karena tidak ada direct and immediate link between the initiation and completion of the act sebagaimana ditemukan dalam kasus Lotus yang menerapkan yurisdiksi teritorial sebagai subjek.
Kedaulatan negara hanya dapat dilaksanakan di wilayah atau teritorialnya dan akan berakhir ketika sudah dimulai wilayah atau territorial negara lain. dalam tata krama pergaulan internasional dibutuhkan permohonan ekstradisi dari resquesting state kepada requested state. Dengan demikian, keterbatasan kedaulatan teritorial bisa dijembatani melalui kerja sama dengan negara lainnya untuk proses penegakan hukumnya. Pemerintah Indonesia telah memiliki undang-undang paying untuk ekstradisi dengan undang-undang nomor 1 tahun 1979 tentang ekstradisi, dan untuk kerjasama penyidikan dan penuntutan, termasuk pembekuan dan penyitaan asset dengan undang-undang nomor 1 tahun 2006 tentang bantuan timbal balik dalam masalah pidana.

DAFTAR PUSTAKA
Sefriani. 2014. Hukum Internasional. Jakarta : Raja Grafindo Persada.